Kamu tahu, saya tidak mengerti banyak tentang penyesalan. Atau jika kamu bertanya pada saya siapa manusia yang paling menyesal di bumi ini, tentu saya tidak tahu. Setidaknya sampai sebuah surat botol dari seseorang di masa yang cukup lampau itu saya temukan di dekat pohon mahoni yang hampir mati.
Hari ini, setelah kegiatan-kegiatan dan rutinitas saya yang kurang penting, ketika saya sedang duduk berdua dengan bayangan saya sendiri di sebuah kedai dengan model lesehan, gambaran yang juga sama tidak pentingnya ikut muncul; bagaimana jika setelah keluar dari kedai ini tanpa sengaja saya menginjak ekor ular, kemudian hewan melata itu reflek menggigit saya dan menyuntikan bisanya ke dalam pembuluh darah saya, atau bagaimana jika di persimpangan nanti saya diberhentikan oleh seorang polisi karena saya tidak mengenakan helm, dan spion saya yang cuma satu.
Bahkan, saya lebih takut pada kejadian-kejadian yang absurd. Misalkan polisi itu menilang saya hanya karena saya tidak memiliki seorang kekasih. Aneh dan benar-benar tidak penting.
Tapi mungkin kamu perlu tahu, kalau saya ini memang mudah sekali  diserang oleh kekhawatiran yang berlebih akan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu saya khawatirkan.Â
Sejak kecil saya selalu takut bila sepatu baru saya akan diinjak teman. Lalu setelah dewasa, kekhawatiran itu tumbuh menjadi kegelisahan jika adik saya lebih dulu naik ke pelaminan. Sementara saya bertambah tua, kaku, dengan perut buncit dan wajah yang jerawatan. Saya takut masih membujang sedang dia sudah beranak pinak. Lalu saya akan menjadi seorang Om yang kelak hanya mampu mengajari anaknya cara untuk mengatasi rasa kesepian.
Saya menghabiskan dua cangkir kapucino saset yang saya pesan di kedai itu. Dengan lima tusuk pentol bakar dan seporsi nasi goreng biasa. Karena seseorang dari dalam diri saya bilang bahwa saya tidak lagi layak untuk mendapatkan sesuatu yang spesial. Jadi, barangkali nasi goreng masuk ke dalam kategori ini.
Setelah kenyang saya melanjutkan perjalanan ke arah tujuan yang sebenarnya tidak ada. Saya cukup kaya untuk menghambur-hamburkan uang dan membeli bahan bakar demi pergi ke banyak tempat tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Hanya saja saya merasa terlalu kedinginan untuk melewati udara malam ini sendirian. Jadi, saya memutuskan behenti di taman kota.Â
Di tengah-tengah taman, ada sebuah gerbang  masuk sempit menuju sebuah panggung kecil yang bernama Mingguraya. Orang sekitar menyebutnya sebuah titik kumpul sesama seniman dan penyair lokal, di mana biasanya mereka mengadakan acara baca puisi dan penampilan band akustik sebulan tiga kali. Kebetulan, malam ini adalah malam baca puisi yang saya maksud.
Kemudian saya juga ingin membandingkan kilauan matamu dengan warna lampu air mancurnya yang ternyata sedikit kalah indah. Saya mencintai tempat ini, kata saya. Tapi kemudian akan saya bilang bahwa saya lebih mencintaimu.