Hari ini akan berjalan seperti hari-hari biasa. Hujan akan turun samar-samar dalam kesunyian inferioritasku, dan dingin merangkai sebuah perupamaan yang menutupi kesedihan saat aku memikirkanmu, sekali lagi.
Kau selalu hidup di dalam kalimat ini.
Lalu aku menulis dan berharap.
Seumpama menjatuhkan diri ke dalam jurang tak berujung, mengingatmu ialah penyamaran dari bunuh diri yang kulakukan berulang-ulang. Tetapi aku tak kunjung mengerti, makna yang tersembunyi dalam kata 'mati'.
Seperti hari-hari lainnya, kau bisa membunuhku lagi hari ini.
Karena itu tak seberapa.
Aku lebih takut jika kau betah untuk tidak mencintaiku.
Kegetiran dari kalimat-kalimat sedih berkepanjangan, saat aku menatap ke arahmu sementara matamu menetap di tempat yang lain.
Untuk itu, aku ingin kembali menulis dan berharap. Sebab menulis namamu membuatku betah, meski berharap padamu hanya akan membuatku semakin patah.
Kepalaku melahirkan sebuah ironi,
saat kesembuhan meminta untuk dilukai, dan harapan-harapan yang kurawat memilih untuk berpaling, menikamku dari titik buta, di mana hanya namamu yang dapat kubaca.
Hari ini akan berakhir seperti hari-hari biasa. Aku akan sekarat, mati dan hidup kembali. Namun hujan akan menyiram namamu yang perlahan tumbuh sebagai pohon kesedihan tertua.
Seperti saat kusadar, bahwa aku tidak bisa membuatmu mencintaiku,
meski hanya sebentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H