Pagi-pagi suara jeritan seseorang atau sesuatu selalu terdengar dari dalam tempurung kepalamu, tepat setelah kau bangun dan menggosok-gosok matamu dari tidur yang mungkin bisa membunuhmu lewat mimpi-mimpi indahnya. Dan tepat di saat kau belum mandi.
Tapi kau acuh. Karena kautahu hari-harimu lebih berat sementara kebahagiaan sedang menuntut untuk ditemukan.
Di dapur, suara jeritan itu terdengar lagi saat kau sedang mengaduk kopi dan sisa gula untuk dirimu sendiri. Sedikit lebih panjang. Tapi kausadar bahwa itu tak lebih buruk ketimbang suara piring-piring kotor yang meminta dicuci, atau beras dan gula yang habis sedangkan kau malas pergi ke pasar dan bernego dengan ibu-ibu yang cerewet.
Jalanan tidak sedang padat, suara itu terdengar lebih jelas saat kau melihat sekeliling dan menemukan dua orang tua -kakek dan nenek- yang sedang naik sepeda. Kau memandangi keduanya dengan harapan  dan doa-doa yang membuat ban sepeda motormu menabrak bahu jalan. Kau tersungkur dan suara jeritan itu jadi semakin keras.
Kautiba di kantor dengan memar dan goresan kecil di kulit, celana di bagian lutut yang berlubang dan baju yang agak kotor.
Saat kau menghadap laptop dan tak menemukan berkas-berkas yang kaucari, kau akan memaki dirimu sendiri dengan umpatan-umpatan kasar khas internet, yang kau dapat dari akun-akun sosial media berkonten receh, yang bisa membuat kau tertawa sendirian sampai keluar air mata di dalam kamar mandi.
Tapi kau menyadari, suara jeritan itu belum hilang, justru bertambah keras dan terasa semakin dekat.
Hari-hari bekerja adalah hari yang kau benci. Duduk berjam-jam seperti orang lumpuh yang memamerkan senyuman gigi berkawat ke arah manusia yang tak ingin kau temui. Tapi kau harus tetap melakukan semua itu. Karena kau harus tetap hidup dan menemukan seseorang yang bisa membuat suara jeritan di dalam kepalamu hilang.
Kau pulang pukul lima petang. Namun tidak benar-benar pulang. Pikiranmu tertinggal di atas meja, bersama laptop dan berkas yang tanpa sengaja kau hapus. Dan kelemahanmu sebagai seorang manusia adalah selalu ingin semuanya bisa kembali. Seperti sebuah masa lalu yang kau harap dapat diulangi.
Suara jeritan itu kembali terdengar di antara derit pintu yang perlahan kaubuka.
Sementara di dekat westafel, piring-piring kotor sedang menunggumu dengan sisa-sisa lemak yang membentuk sebuah senyuman. Kau  kelaparan, tapi baru menyadari kalau berasmu habis dan kau malah lupa singgah ke warung Mang Saleh yang anaknya manis itu.