Sebelum semua ini berakhir dan sebelum aku berhenti mencintaimu. Hujan di atas kepala mengiringiku ke mana pun, membuatku menggigil. Aku sakit. Salah satu dari kita menyerah dan kesedihan menyamar sebagai tamu yang menungguku di balik pintu.
Segala hal di bumi tidak ada yang mampu membunuhku, selain memoir yang menyembulkan wajahmu ke atas permukaan cangkir teh panas yang kupesan di warung dekat pohon kita bernaung. Jalanan menuju arah pulang yang memanggil-manggilmu untuk tidak segera beranjak, embusan nafas yang terasa dari huruf nirsuara pada namamu.
Aku belum mau ini berakhir. Tapi kecerobohanku sendiri malah membikin lubang kuburan bagi ingatan-ingatan. Aku tak ingin menanam apa yang kita lalui bawah sana, menguburnya seperti anak pohon. Karena seperti katamu, "Masa lalu tak akan tumbuh subur." Ia akan mati meski kusiram setiap hari. Langit akan menangis dan tanah menimbun lahat yang dipenuhi oleh air mata seseorang --oh, itu air mataku.
Sebelum semua ini berakhir dan sebelum aku mengajak diriku untuk lari dari keputusasaan ini. Meskipun tak ingin, aku tetap sedang berusaha membunuh ingatan yang mengancam, yang mungkin akan membuatku mengingatmu jika turun hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H