Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Setelah Dewasa, Lalu Apa?

13 April 2019   15:18 Diperbarui: 13 April 2019   17:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya duduk termangu di depan laptop merah yang memandangi saya sedari semalam, dengan berkas mentah laporan yang belum selesai. Saya membalas dengan mengabaikannya untuk hari ini. Setidaknya selama hujan turun. Saya sedang menikmati hujan deras yang merembes hingga menembus kisi-kisi jendela kamar saya. Mencium aromanya yang menyapu aspal dan mengalahkan wangi parfum apa pun. Memerhatikannya seakan takut berpisah. "Jangan reda, jangan dulu. Kenangan masa kecilku tertinggal padamu."

Saya mengalihkan pandangan pada halaman di samping rumah saya yang menjadi ladang air keruh. Saya bisa melihat bayangan diri saya di masa kecil sedang bermain dengan ban sepeda bekas yang ukurannya nyaris sedada. Menggelindingkannya di tengah-tengah hujan deras. Saya tak pernah takut bila besok hari akan sakit. Satu-satunya hal yang saya takutkan adalah ibu saya --dengan tubuh tambunnya-- menunggu saya di depan pintu, memegang gagang sapu yang siap mendarat di salah satu bagian tubuh.

Jika hujan belum behenti lebih dari sejam, biasanya saya melabuhkan kapal-kapal kertas dari hasil robekan buku sekolah. Kadang-kadang saya mengoleskan lambungnya dengan sabun cuci ibu agar kapal-kapal itu bisa melaju beberapa detik sebelum akhirnya basah dan karam. Pernah satu kali saya menghabiskan sekeping buku tulis setebal 25 halaman yang dulu harganya berkisar 500 perak. Sampai-sampai ayah saya menyita tas sekolah saya. "Itu mubazir!" Kata beliau sambil marah-marah. Saya kesal dan kabur ke rumah tetangga, pulang sehabis Isya karena kelaparan. Sekarang saya kira itu aneh sekali. Saya yang salah, malah saya yang marah.

Menjadi kanak-kanak merupakan hal terindah yang pernah dimiliki manusia. Dengan segala kesederhanaan mengartikan kebahagiaan serta kepolosan dalam memandang dunia. Sementara hujan menjadi mesin waktu yang senantiasa merawat kenangan. Dari yang manis hingga yang paling menyedihkan. Seperti hari ini, saat ini.

Saya duduk dengan keputusasaan, kemudian masa lalu mengetuk jendela kamar saya. Membuat otak saya yang membeku dan dikeroyok berbagai macam beban hidup itu menjadi cair. Memaksa saya mengingat bahwa saya pernah menjadi anak kecil yang kegirangan ketika hujan turun. Yang masih belum memikirkan apa yang akan ia hadapi di masa depan. Bahwa saya sedang kesepian. Bahwa saya sedang dihantui perasaan bersalah karena lupa mengucapkan maaf dan terima kasih pada ibu, ayah, ban sepeda bekas, serta buku tulis yang saya gunduli hingga yang tersisa cuma sampul bergambar AS Roma dan Batistuta.

Hujan sudah reda. Saya kembali ke rutinitas di mana saya pikir Tuhan sengaja menciptakan dunia untuk memecahkan kepala saya. Saya menarik laptop dan hati saya mulai bertanya;
setelah dewasa, lalu apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun