Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Menunggu Kamu di Kantin, di Antara Musim

28 Maret 2019   17:04 Diperbarui: 30 Maret 2019   17:40 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay.com

Rasanya seperti kamu masih ada di sini, Ji.
Datang ke tempat ini terasa seperti bunuh diri. Atau mengingat sesuatu yang harusnya lebih baik saya lupakan. Tapi begitulah saya. Saya begitu terobsesi untuk mengingat hal-hal yang menyakitkan.

Kantin sekolah ini sudah direnovasi, dan kursi yang pernah kamu duduki dahulu mungkin sudah dibuang atau menjadi kayu, dibakar dan jadi abu seperti saya sejak kamu tiada, Ji.

Kawan-kawan saya bertanya apakah saya baik-baik saja. Saya bilang saya tidak apa-apa. Karena di saat kamu tiada, saya sudah menyimpan nama dan kebiasaan-kebiasaan kamu  ketika datang pagi-pagi, yang selalu tersenyum di saat piket menyapu kelas, cara kamu mencatat pelajaran, gaya berpakaian kamu, dan senyuman kamu di balik helm bergambar Batman itu.

Hujan dan banjir. Saya melihat kamu di setiap aliran air yang menenggelamkan teras kelas kita. Bahasa Indonesia dan tugas membikin puisi, di mana tema yang kita pilih sama. Atau buku tugas saya yang kamu koreksi di hari sabtu itu, yang kamu beri simbol senyum dan dengan wajah tolol saya yang tidak mengerti maksudnya.

Kemarau dan siang pukul satu saat pertama kali saya berjumpa kamu. Kamu cantik sekali. Dengan lesung pipi, gigi kamu yang putih dan rata, dan bibir kamu yang merah. Tidak terasa sudah delapan tahun sejak hari itu, dan ingatan saya tentang kamu entah kenapa masih sangat awet sekali.

Saya selalu berharap kalau kamu ialah perwujudan dari waktu, agar selepas kamu pergi, saya bisa berpura-pura tidak sedang kehilangan apa-apa. Tidak kehilangan perempuan dengan jaket anehnya, tidak kehilangan perempuan yang tulisannya jelek, tidak kehilangan perempuan yang menyuapi saya mi instan di kantin, tidak kehilangan rasa bahagia atau alasan kenapa saya ingin dilahirkan dan hidup lebih lama. Saya tidak pernah ingin merasa kehilangan kamu.

Saya kembali ke sekolahan ini. Untuk menemui masa lalu yang barangkali tertinggal pada pantulan kaca jendela, meja, kursi dan ruang kelas kita yang kini menjadi gudang. Saya juga menyempatkan diri untuk menunggu kamu di kantin yang sekarang hanya berbentuk teras. Semoga Tuhan mengasihani saya dan mau meminjamkan kamu dari sisinya. Sebentar saja. Saya rindu kamu satu juta kali, bahkan lebih, barangkali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun