Aku membayangkan.
Mencintaimu sampai pikun sepertinya akan menyenangkan. Melewati kelupaan dengan saling mengingatkan. Sampai satu-satunya yang kuingat hanyalah kau milikku dan aku milikmu.
Aku membayangkan
Mencintaimu sampai tak lagi ada celah rambut hitam untuk bertumbuh. Seiring dengan lemah dan makin rentanya tubuh. Kita akan saling membangunkan sampai di antara kita jatuh dan tak lagi bisa didirikan.
Aku membayangkan.
Mencintaimu sampai keriput dari wajah hingga hampir seluruh badan. Tak ada rasa khawatir ditinggalkan atas dasar kesetiaan. Atau ditanggalkan karena salah satu menemukan yang lebih menawan.
Aku membayangkan.
Gigi kita habis. Di saat kita duduk bersama di meja makan, kubilang bahwa kau masih manis, kau tersenyum. Lalu hari yang senja memaksa kita menyantap hidangan bubur yang paling tidak kusuka. Kalau bukan karena terus ingin hidup denganmu, aku lebih memilih untuk hidup dengan hanya minum air setiap hari.
Aku membayangkan.
Kita saling menguatkan sampai kau atau aku sudah sangat lelah, tak lagi bernyawa hingga tertimbun dan kembali menjadi tanah. Sampai di sini aku menyadari cinta kita telah mencapai tanggal kadaluwarsanya. Kita bisa melihatnya lewat nisan yang tertancap di atas sebuah gundukan, di mana salah satu dari tubuh kita dipendam.
Bila kau pergi lebih dulu, mungkin tangisku akan pecah di mata, tapi aku akan mengantarmu dengan penuh bangga, sebab aku sudah mencintaimu seperti yang aku bayangkan: sampai pikun, sampai beruban, sampai keriput, sampai tak punya gigi dan sampai mati.