Mohon tunggu...
Syahrul Anami
Syahrul Anami Mohon Tunggu... Lainnya - Simultan Writer

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Optimalisasi Peta Digital Badan Bank Tanah Dalam Meluruskan Kusut Konflik Agraria

26 Januari 2025   22:54 Diperbarui: 26 Januari 2025   22:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Google Maps (Telah Diedit)

Konflik Agraria dapat didefinisikan sebagai persengketaan terkait kepemilikan, pengelolaan, dan penarikan manfaat, serta penguasaan atas sumber daya alam dan agraria (Koeswahyono, 2022 dalam Rahmadani dan Kandias, 2022).  Pola konfliknya berulang, klaim tumpang tindih tentang siapa dan mengapa salah satu berhak atas sebuah bidang. Penulis menilai bahwa Konflik Agraria akan selalu ada selama manusia itu hidup. Namun, upaya penyelesaian konflik masih dapat ditempuh. Salah satunya dengan melakukan optimalisasi fungsi pemetaan pada situs sebuah lembaga bernama Badan Bank Tanah.

Konflik Agraria dapat melibatkan kekerasan fisik, pemenjaraan, hingga penembakan dan pembunuhan. Pada rentang tahun 2015-2022, terjadi sebanyak 2.710 Konflik Agraria dengan implikasi pada 5.8 juta hektar tanah dan 1.7 juta keluarga. Lebih lanjut, ditemukan kriminalisasi dan penangkapan terhadap 1.615 warga. 77 tertembak dan 69 meninggal dunia. (CNN Indonesia, 24 September 2023).

Konflik Agraria dapat terlihat dalam triase Pemerintah-Masyarakat-Swasta. Semisalnya, pada tahun 2012, Konflik Agraria terjadi  antara pihak PT. Jambi Agro Wijaya (PT. JAW) dan Gapoktan Desa Baru dan Desa Lubuk Kepayang dan Kelompok Petani Mekar Jaya. Konflik ini dilatari persengketahan 3000 hektar lahan dan destruksi kebun yang berujung dengan terbakarnya 62 unit rumah pekerja dan 15 hektar lahan kebun perusahaan. Konflik ini diduga terjadi karena kesalapahaman terkait luasan HGU perusahaan. Dimana tanah yang dianggap masih masuk dalam HGU, ditanami sawit oleh warga yang menganggap bahwa tanah tersebut adalah tanah kosong. Alhasil, tanaman warga pun dirobohkan. (Sutaryono Dkk, 2012)

Selain berhadapan dengan swasta, masyarakat juga kerap menghadapi Konflik Agraria dengan pemerintah. Semisalnya sengketa lahan antara TNI AU dan masyarakat Wates. Konflik ini telah terjadi jauh pada masa awal kemerdekaan dimana TNI AU yang dulunya bernama AURI dituding mengklaim lahan warga/adat. Awalnya, di Desa Beber pada 1942, Jepang membangun pangkalan militer dan udara. Masyarakat Wates yang merasa khawatir, memilih untuk pindah. Namun setelah merdeka pada 1945, masyarakat Wates kembali ke tanahnya namun sayangnya tanah tersebut diklaim oleh AURI. (BBC.com, 2023).

Selain berhadapan dengan swasta dan pemerintah, masyarakat juga mesti menghadapi mafia tanah yang bekerjasama dengan para oknum. Mereka melakukan pemalsuan dokumen, penggandaan, mendirikan bangunan di atas area tanpa izin milik, intimidasi, dan kongsi dengan oknum aparat (Ridwan, 2025).

Melihat permasalahan tersebut, Konflik Agraria di Indonesia dapat dikatakan timbul melalui ketiadaan sertifikat kepemilikan dan penggunaan tanah, bisa juga karena penyerobotan di luar patok penggunaan lahan, hingga adanya permainan dalam lingkup pengelolaan tanah itu sendiri.

Metode penyelesaian yang dapat ditempuh adalah dengan menghadirkan kejelasan kepemilikan dan hak penggunaan atas lahan yang dapat diakses semua kalangan. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi hari ini, optimalisasi peta pada situs Badan Bank Tanah menjadi opsi yang menarik.

Badan Bank Tanah adalah badan bentukan pemerintah pusat yang memiliki wewenang khusus dalam reforma agraria. Dalam situsnya, ia mencantumkan peta digital yang sayangnya sekedar menandai lahan-lahan yang berada dalam penguasaan lembaga ini. Padahal, peta ini dapat dimaksimalkan untuk memvisualisasikan seluruh hak atas tanah yang ada di Indonesia.

Dalam pandangan penulis, peta itu seyogyanya memuat fitur yang menandai, mengarsir, mengklasifikasi, serta menunjukkan lokasi tanah berserta hak yang berdiri di atasnya. Dengan begini, masyarakat dapat melihat dengan jelas apakah tanah yang mereka klaim mengalami tumpang tindih atau tidak. Hal ini akan berimplikasi pada rencana hidup masyarakat itu sendiri, yang akan berkaitan dengan kesejahteraan mereka di masa depan.

Kejelasan hak melalui peta ini juga dapat mereduksi permainan 'tanah' oleh kelompok-kelompok besar. Pergerakan atau pergeseran kepemilikan terhadap sejumlah lahan luas dapat dipantau. Sehingga, segala bentuk kecurigaan terhadap bangunan yang muncul secara tiba tiba, dapat ditelusuri lebih lanjut.

Untuk melakukan optimalisasi ini, Badan Bank Tanah perlu bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN. Lembaga ini menjadi pemasok data untuk kebutuhan penyusunan peta, dan pengumpulan data untuk membangun data base. Data-data dimaksud dapat berupa SHM, HGU, HPL, dan penentuan koordinat lapangan, serta tidak terbatas pada data dan keterangan lainnya. Seperti tanah adat, tanah terlindung, dan konsensi lahan Tambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun