Mohon tunggu...
Syahrul Fatriansah
Syahrul Fatriansah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Semoga dapat terus ikut berbagi dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Free Open Source Software Untuk Pendidikan

17 April 2012   00:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya masih teringat dengan kejadian yang cukup menggelikan sekaligus membuat saya miris. Kejadian sewaktu menjadi panitia diklat penguatan kepala sekolah dan pengawas sekolah yang diselenggarakan di instansi saya bekerja. Waktu itu adalah kegiatan kedua dimana peserta wajib mengumpulkan hasil kerja mereka dalam bentuk “print out” maupun dalam bentuk file presentasi dengan menggunakan media keping CD. Pada saat satu persatu peserta maju mempresentasikan hasil kerja mereka, saya menemukan file dengan judul power point. Namun yang membuat saya geli karena ikon file tersebut bertuliskan “W” dan berekstensi “Doc”. Lebih menggelikan lagi ketika saya buka file tersebut, ternyata hanya berisikan satu halaman dan bertuliskan “PowerPoint”. Rupanya itu bukan satu-satunya, masih ada lagi kejadian serupa meskipun kondisinya tak separah kasus tersebut diatas.

Dalam perkiraan saya, salah kaprah ini terjadi akibat seringkali (bahkan mungkin selalu) para pengajar atau tenaga pendidik mengajarkan atau meminta peserta didik mengerjakan tugas presentasi dengan istilah “PowerPoint”. Padahal kita tahu bahwa powerpoint hanya salah salah satu nama software untuk presentasi dari sekian banyak software presentasi.

Kalau kalo kita perhatikan, rupanya kejadian diatas hanya gejala saja dari persoalan lain yang lebih mendasar lagi. Persoalannya adalah masih dominannya penggunaan salah satu software, sebut saja software buatan Microsoft. Software ini sejatinya adalah software komersial dan tertutup atau dalam bahasa lain dikenal dengan istilah proprietary software. Namun di Indonesia software ini sangat umum dipakai bahkan dengan jalan membajaknya. Hal ini dikarenakan tidak tegasnya pemerintah dalam hal pemberantasan penggunaan software bajakan baik dari sisi penegakan hokum maupun dari sisi edukasi kepada masyarakat. Hal ini seringkali membuat masyarakat meresa tidak ada persoalan dengan software yang dipakai sehari-hari.

Dominasi penggunaan software propritery baik yang legal maupun yang bajakan masuk kedalam berbagai sektor termasuk dalam sektor pendidikan. Dominasi dalam dunia pendidikan bias dengan mudah kita rasakan, dimana peserta didik seringkali diberi pengetahuan tentang berbagai macam software komputer dengan langsung mengenalkan pada salah satu produk tertentu.  Sebagai contoh, pengajaran tentang sistem operasi seringkali langsung dikenalkan pada sistem operasi Microsoft Windows.  Contoh lain, ketika pengajaran mengenai aplikasi word prosesor siswa seringkali langsung dikenalkan dengan Mirosoft Word. Tak hanya produk Microsoft saja sebenarnya yang marak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, produk-produk komersial lain juga marak diajarkan seperti Corel dan Adobe. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang menadi dasar pengajaran hanya pada apa yang sudah umum dipakai.

Kondisi seperti ini tentunya akan sangat merugikan bangsa kita kedepan. Barangkali tidak sekarang, namun di masa yang akan datang kerugian itu baru akan terasakan. Ketergantungan kita pada salah satu software komersial akan sangat membatasi peningkatan kemampuan kita terhadap berbagai jenis software. Misalkan saja, suatu saat Microsoft benar-benar mendesak pemerintah RI untuk memberantas pembajakan Microsoft di Indonesia maka bisa dibayangkan betapa kagetnya mereka yang sudah sangat tergantung dengan produk tertentu. Berapa biaya yang harus tiba-tiba dikeluarkan untuk membeli semua lisensi agar tetap dapat menggunakan software tertentu tersebut. Dari lisensi sistem operasinya hingga lisensi software aplikasinya. Belum lagi jika pembalasan datang pada sektor lain. Dengan mendasarkan pada TRIPS (The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) bisa saja suatu Negara yang merasa dirugikan akibat produknya banyak dibajak oleh negara lain melakukan pembalasan di sektor lain.

Kerugian lain yang tak kalah berbahanya adalah terkungkungnya kreativitas bangsa kita. Mereka yang selalu terbiasa menggunakan software komersial tertentu pada level yang minimal tidak terbiasa menggunakan softrware lain atau merasa tidak bisa bekerja jika dihadapkan dengan tools yang menggunakan software selain buatan Microsoft. Bahkan yang lebih parah lagi mereka tidak pernah tahu bahwa ada software alternative selain yang sudah terbiasa mereka pakai.

Dengan kondisi diatas dan ancaman kerugian tadi, maka sudah saatnya dunia pendidikan di negeri ini untuk memulai mengubah cara pengajaran kepada peserta didik untuk juga mengenalkan berbagai alternative software. Lebih penting lagi untuk mengenalkan free open source software. Ketika seorang tenaga pendidik mengenalkan kepada peserta didik mengenai sistem operasi sudah saatnya untuk mengenalkan kepada mereka bahwa sistem operasi terdiri dari berbagai macam jenis. Salah satunya adalah linux. Dengan juga mengenalkan kelebihan dan kekuranganya.

Bukan Soal Gratisnya tapi Nilai Sosialnya.

Free Open Source Software sendiri menjadi pilihan terbaik untuk saat ini jika kita ingin mengurangi ketergantungan kita terhadap software-software propietary seperti buatan Microsoft. Bukan hanya persoalan legalitas dan harga, namun lebih pada nilai etis dan semangat yang dibawa oleh gerakan free open source. Dalam dunia software sendiri dari aspek lisensi dikenal dua jenis software, propritery software dan free open source software (FOSS). Proprietary software adalah software yang menerapkan lisensi tertutup dimana pembeli tidak memiliki hak untuk melakukan modifikasi dan penggandaan serta penyebaran kembali software yang telah dibelinya. Sementara  FOSS adalah software yang menerapkan lisensi terbuka dimana pengguna atau siapapun berhak menggunakan, memodifikasi dan mendistribusikan kembali.

Software proprietary lahir sebagai produk komersial, dibuat dengan cara tertutup, tidak memberi kebebasan bagi pihak lain untuk mengubah atau memodifikasi apalagi menyebarluaskan. Umumnya dengan menggunakan instrumen HAKI, vendor software proprietary mengeruk keuntungan dari penjualan dan tidak memberi kebebasan atas barang yang telah dibeli oleh seseorang. Sementara free open source lahir sebagai alterbatif bahkan sampai level tertentu sebagai perlawan atas dominasi software propietary. FOSS memberi jaminan kebebasan pada siapapun untuk melakukan akses terhadap source code dan melakukan modifikasi terhadap suatu software dan menyebarkan kembali.

Dari sini nampak bahwa persoalannya adalah bukan semata-mata pada berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh seseoarang atau suatu lembaga untuk mengadakan dan menggunakan sautu software, tapi lebih pada aspek nilai sosial yang terkandung. Mungkin bagi mereka yang berkecukupan, uang bukanlah persoalan, sehingga software semahal apapun dalam dibeli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun