Masyarakat Banten dikenal sebagai kelompok masyarakat yang masih lekat dengan budayanya. Terutama ketika mereka mengadakan acara seceperti acara khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya. Maka biasanya mereka akan mengadakan acara wawacan syeikh atau maca syeikh. Tradisi mamaca ini masih sering diadakan dan dipertahankan oleh masyarakat Banten hingga saat ini.
Wawacan syeikh atau Maca Syeikh memiliki beberapa istilah nama yang dikenal masyarakat seperti Numbak dan Manaqiban. Isi dari wawacan tersebut memuat kisah-kisah teladan dan perbuatan ajaib seorang Ulama dan wali terkenal, yakni Tuan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Masyarakat pun berkeyakinan bahwa pembacaan manaqib ini mampu memberikan keselamatan, keberkahan, dan apa yang diinginkan dapat tercapai.
Tradisi pembacaan manaqib ini di Banten telah ada semenjak paruh pertama abad ke-17. Pada abad tersebut telah ada adaptasi pembacaan manaqib dalam versi Jawa menggunakan dialek Banten -- Cirebon. Hingga kini rutinitas numbak atau pembacaan manaqib masih dengan mudah dapat ditemukan di Banten. Tulisan naskah pada Wawacan Syeikh menggunakan tulisan Arab Jawa Cirebon atau lebih dikenal dengan istilah Arab Pegon.
Dialek jawa Banten yang digunakan dalam pembacaan manaqib ini sering dijumpai dan dituturkan di beberapa wilayah Provinsi Banten bagian utara seperti Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon. Bahkan dialek Jawa Banten atau Jawa Serang juga dituturkan di daerah Provinsi Lampung. Dialek ini dikenal sebagai dialek kuno.
Ada dua macam kesusastraan, yaitu bahasa bahasa lancaran atau prosa dan bahasa ugeran atau puisi. Teks Wawacan Syeikh ini termasuk ke dalam bahasa ugeran, yaitu dangding dan sajak. Dangding atau ngadangding disebut juga oleh masyarakat sebagai melagukan.
Terdapat 11 Pupuh yang ada dalam naskah Wawacan, yaitu:Â (1) Dangdanggula, (2) Asmaranda, (3) Sinom, (4) Kinanti, (5) Pangkur, (6) Gurisa, (7) Durma, (8) Pucung, (9) Lambang, (10) Mijil, (11) Maskumambang. Setiap pupuh memiliki arti, seperti pupuh Asmarandana dan Pupuh Sinom.
Asmarandana berasal dari dua suku kata yaitu "Smara" dan "Dahana"; Smara atau Asmara diartikan sebagai hal-hal yang merangsang birahi atau perjodohan. Sedangkan Dahana artinya api. Berikut teks dari pupuh Asmarandana :
"Lawan carita malih sumalih Dewi Aisyah ing desa jaelani pernahe lan sinebut ing riwayat Syekh Abdul Qadir Jaelani duk lagi roro ing dangu guguru ngaji qur'an malah-malah dadaos hafidz Syekh Abdul Qadir Jaelani pagedatan kenging supaya lan guguru ngahos kitab fiqih maring ulama abil wafa wastanipun uqel kang derebe tanaya."
Lawan cerita terdapat berita dari Dewi Aisyah di desa Jaelani yang pernah menyebutkan tentang riwayat Syekh Abdul Qadir Jaelani yang mempunyai dua guru ngaji al Qur-an, mudah mudahan bisa hafidz Syekh Abdul Qadir Jaelani sehingga bisa berguru ngaji kitab fiqih dengan ulama Abil Wafa yang mempunyai kemampuan.
Pupuh sinom berasal dari kata "Sinwan" yang berarti pucuk dari pohon asam. Berikut contoh sinom yang terdapat pada naskah Wawacan :
"Hikayat kang kaping sedasa sing Syekh Muhammad Azhari lawan saking sing kang mulya kakasih Abu Mafakhir ngandika sakalih satuhune isun angrungu sakking bapa manira duk anang parajadi miskin ing dalam hijrah nabi alaihissalam."
Hikayat kesepuluh menceritakan tentang syekh Muhammad Azhari lawan dengan yang mulya kekasih Abu Mufakhir berbicara sesungguhnya saya mendengar dengan bapak kamu tentang orang-orang yang di dalamnya ikut hijrah dengan nabi alaihissalam.