Percakapan mereka adalah gayung bersambut sepasang hati yang marun merahnya. Percakapan yang mengetuk gendang telinga penduduk langit. Percakapan sederhana dari sebuah kampung yang tak tertitik dalam peta, tak tertilik oleh sesiapa, pun tak terbetik dalam kabar. Namun, bila para nabi dan istri mereka, para sahabat nabi dan istri mereka, para tabi'in dan istri mereka, juga para wali dan istri mereka kita lupakan, maka percakapan pengantin yang belum genap setengah hari itu adalah mantra paling mustajab dalam peradaban. Jadi, petiklah pelajaran berkasih yang menjuntai dari dahan keajaiban yang tumbuh dari pohon ketulusan yang mereka tanam.
Sepatutnya, perkawinan mereka adalah pertautan tak lazim. Oh, mereka sama-sama tulikah? Sama-sama pengkor kakinyakah? Sama-sama juling mata-nya kah?
Tidak. Mereka tak berkekurangan serupa itu. Mereka masih dapat mendengar dengan jernih, berjalan tanpa sengal, dan melihat dengan terang. Mereka dapat saling meningkahi setiap tutur.
Ah, bila pun berpadunya hati mereka mengandung pikatan, siapa yang memedulikannya. Laki-laki tukang parang. Perempuan tukang ladang.
Perihal apa yang layak dipicing untuk memaku mata pada perkawinan itu? Dua anak manusia yang memakai mulut jiran untuk menyambung undangan, baru menghelat cinta di hadapan penghulu, baru membongkar tarup di pekarangan rumah....
Maka, helat itu adalah perayaan yang jauh dari ingar-bingar sebuah perkawinan. Tetamu yang datang kurang dari seperempat undangan. Lebih ramai oleh anak-anak yang merincah. Bermain kejar-kejaran, menanti ayam kampung telanjang ditiris dari kuali, bergelak dengan mulut penuh remahan ubi jalar....
Sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu bagai bersepakat menajur rencana lain pada Ahad itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H