Oleh: Syahrizaan Al Mahzar*
Pendidikan yang idealnya dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan serta berupaya merekonstruksi suatu peradaban adalah salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Hal ini juga merupakan pekerjaan wajib yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa.
Kesemuanya itu tidak luput dari peran ilmu agama sebagai pembentuk karakteristik dan mental peserta didik yang berbudi luhur. Sehingga, penguasaan terhadap ilmu, pengetahuan-teknologi, aspek-aspek materi (hasil-hasil teknologi) dan kemajuan-kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh peserta didik sebagai kebutuhan dan kewajiban yang harus selalu dilaksanakan dalam menjaga keharmonisan kehidupan. Jika disimak lebih mendalam, fakta menunujukan bahwa Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sekuler-materialistik. Meski sekuler tidak selalu anti agama ( iman dan taqwa ). Hal ini terlihat pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan bagian kesatu (Umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Terlihat jelas dalam pasal ini adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan umum.
Hal ini membuktikanada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter dan mental peserta didik. Padahal, pembentukan karakter dan mental merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi sistem kontrol dalam pembentukan karakter dan mental peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.
Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana disana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penerapan sistem pendidikan sekuler materialistik melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Memang dengan pendidikan sekarang masih melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan yang mampu bersikap luhur dari masa ke masa.
Buruknya kondisi kehidupan masyarakat akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia tampak pada masih banyaknya kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku jahat lainnya yang dilakukan para peserta didik di negeri ini. Seperti yang telah disampaikan oleh Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) bahwa _sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Hal ini menunjukan adanya kekeliruan dalam mekanisme pendidikan.Dalam UU Sisdiknas Bab V tentang Standar Kompetensi Lulusan pasal 25 disebutkan: (1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. (3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. (4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dari pasal tersebut diketahui bahwa kompetensi kelulusan harus mencakup sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) dan ketermpilan (psikomotorik). Standar kompetensi ini harus menjadi acuan pada pemerintah dalam menetapkan standar kelulusan. Namun, terjadinya kontradiktif antara ketetapan dengan pelaksanaan di lapangan. Kontradiktif ini terlihat dari kebijakan Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa kelulusan didasarkan pada hasil UAN (Ujian Akhir Nasional), yang hanya mengujikan beberapa mata pelajaran saja. Tentu saja ini tidak mencakup kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab V pasal 25. Karena UAN (Ujian Akhir Nasional) sendiri hanya bentuk evaluasi pelajaran dan merupakan cakupan dari pengetahuan peserta didik saja, tidak mencakup keterampilan dan sikap mereka.
Nampak jelas bahwa kinerja Mendiknas dan segenap jajarannya kurang begitu mempertimbangkan hasil dari pendidikan. Melihat kegagalan dari sistem pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia, harusnya segera diadakan pembenahan pada sistem pendidikan di Indonesia. Pembenahan dari sekian sistem yang gagal tentunya harus dilakukan secara signifikan dan berkelanjutan. Mulai dari sistem pendidikan yang di berlakukan sampai pada level penyelenggara pendidikan. Sehingga output yang di keluarkan lembaga pendidikan dapat memberikan kontribusi terhadap problematika bangsa ini.
*) Kader Muda PMII Ashram Bangsa Jogjakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H