Mohon tunggu...
Syahriza Azizan Sayid
Syahriza Azizan Sayid Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia merdeka yang sedang mencari keridhoan-Nya

Alhamdulillah sae

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jihad Santri Jayakan Negeri: Sejarah, Relevansi pada Tahun Politik dan Paradigma Santri Menempatkan Diri

23 Oktober 2023   00:38 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:25 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam masyarakat, Santri sering dimaknai sebagai seseorang yang mondok di suatu pesantren. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai seseorang yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh. Ketika kata “santri” dimaknai sebagai seorang murid yang belajar agama dan menetap di asrama pesantren, maka makna ini hanya akan membuat pengertian santri terkungkung pada sutu pusaran pesantren itu saja. Uniknya justru beberapa Kiai-Kiai masyhur malah memaknai santri  bukan hanya yang tinggal di pesantren saja, melainkan mereka yang ber-akhlakul karimah seperti santri juga layak untuk disebut dengan santri (kata-kata dari Beliau Gus Mus, KH Musthofa Bisri, salah satu Ulama yang terkenal dengan karya sastranya dan juga pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang). Pernyataan beliau didukung dengan pendapat dari Rais Syuriyah PCNU Kota Pekalongan KH Zaenuri Zainal Mustofa mengatakan, yang disebut santri selain dirinya pernah menimba ilmu di pesantren atau mondok di pesantren, juga meskipun tidak pernah mondok akan tetapi mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari bisa juga disebut santri. Sehingga dari pendapat Kyai Zaeunuri tersebut, makna akhlakul karimah yang dimaksud oleh Gus Mus dapat kita pahami sebagai usaha melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan-Nya pada setiap sendi kehidupan sehari-hari. Sangat banyak paradigma pemaknaan santri sehingga penulis mengambil makna dari beberapa Kiai masyhur di atas.

Awal mula penyebutan ‘santri’ ini juga memiliki perjalanan yang unik. Santri dalam buku Diplomasi Santri karya Arifi Saiman, dikatakan sebagai kaum sarungan; merujuk kepada individu yang menjalani kehidupan agamis tradisional dengan aktivitas sehari-hari yang berpusat di sekitar musala, masjid, pesantren, dan kitab kuning. Kata Santri ini unik karena meskipun identik dengan kehidupan agamis, menurut C.C Berg kata tersebut bukan berasal dari bahasa Arab tetapi bahasa Sansekerta “shastri”  berarti individu yang memperdalam ajaran suci agama Hindu. 

Penjelasan ini berlandaskan sejarah di mana bahasa Sanskerta digunakan oleh masyarakat Nusantara pada masa pemerintahan Hindu dan Buddha sebelum Islam diperkenalkan. Secara evolusi, istilah "shastri" kemudian diserap ke dalam bahasa dan budaya pesantren sebagai kata "santri." Sedangkan menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya yang berjudul "Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan" tahun 1999, menjelaskan bahwa kata "santri" memiliki asal-usul dalam bahasa Jawa, berasal dari kata "cantrik," yang berarti "orang atau murid yang selalu belajar dari gurunya”. Karena pada kehidupan pesantren, seorang santri identik dengan seseorang yang menaati apapun perkataan gurunya, Kiai, karena mereka mengharap keberkahan dari gurunya.

Santri memiliki sejarah yang luar biasa di bangsa Indonesia ini. Dahulu santri bukan hanya mempelajari keilmuan agama saja, namun juga belajar kanuragan untuk berjuang melawan penjajah. Hal tersebut tercermin pada banyaknya pendekar atau bahkan sesepuh Pencak Silat yang juga seorang santri, seperti Ki Ngabehi Soero Dwiryo atau yang lebih kita kenal sebagai Eyang Suro yang merupakan pendiri Pencak Silat aliran Setia Hati, dahulu juga pernah nyantri di Pesantren Tebu Ireng Jombang pada usia 15 Tahun. 

Selain itu di kalangan Nahdlatul Ulama, juga KH Manaf Abdul Karim yang merupakan seorang tokoh ulama mashyur Lirboyo Kediri yang mendirikan pencak silat GASMI (Gerakan Aksi Silat Muslim Indonesia), yang kemudian di populerkan oleh KH Abdulloh Maksum Jauhari atau Gus Maksum yang juga merupakan pemerkasa berdirinya Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa. Beliau semua merupakan santri yang luar biasa karena dari pencak silat yang beliau dirikan melahirkan para pendekar yang juga pahlawan dalam memerangi penjajah dan kini melahirkan para atlit luar biasa dalam mengharumkan nama bangsa di kancah olah raga pencak silat.

Dalam perjuangan kemerdekaan, santri juga memiliki andil besar di dalamnya. Banyak pesantren yang getol memerangi penjajah pada waktu itu. Salah satu contohnya yang pernah penulis dengar waktu ngaji di pesantren penulis dulu, Pesantren Darul Ulum Jombang, ada Gus Ishomuddin Romly (Putra KH Romly Tamim; Kiai Mashyur dengan karyanya yang harum hingga kini yakni Istighotsah) yang dengan beraninya melempar kepala seorang penjajah yang datang ke pesantren Rejoso (desa tempat berdirinya Pesantren Darul Ulum) dengan bakiak (sendal yang terbuat dari kayu), naasnya beliau harus meregang nyawa ditembak oleh penjajah waktu wudhlu di tempat wudhlu masjid induk pesantren Darul Ulum.

Salah satu kisah yang terkenal dan kini diabadikan kisahnya sebagai Hari Santri Nasional 22 Oktober adalah gerakan Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Sayikh KH Hasyim Asy’ari. Jauh sebelum itu, Kyai Hasyim yang merupakan Ketua Jawatan Agama (Shumubu) memiliki taktik begitu luar biasa untuk melatih para pemuda yang tidak lain adalah para santri. Beliau menjalin kesepakatan diplomatik dengan Nippon dengan syarat para pemuda dilatih sendiri dan tidak tergabung dengan barisan Jepang.

 Inilah awal terbentuknya Tentara Hizbullah. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari memiliki keahlian dalam perencanaan strategi perang. Meskipun beberapa orang mungkin melihat keputusan Kiai Hasyim sebagai tindakan tunduk kepada Jepang karena mengizinkan pelatihan militer bagi para santri oleh Jepang, sebenarnya di balik tindakan tersebut, guru para kiai di Jawa ini berusaha untuk mempersiapkan pemuda secara militer sebagai upaya untuk menghadapi penjajah di masa depan.

Benar saja apa yang dipikirkan oleh Beliau, Jepang mengaku kalah pada sekutu. Namun Belanda datang kembali untuk menduduki Indonesia yang ke 2 kalinya. Pada saat itulah para santri melalui laskar Hizbullah sudah siap karena telah digembleng ’gratis’ oleh Jepang. Beliau memfatwakan untuk berjihad dengan Resolusi Jihad ‘Hubbul Wathan Minal Iman’, pada 22 Oktober 1945.

 Puncaknya adalah di Surabaya pada 10 November 1945 yang saat ini diresmikan menjadi Hari Pahlawan Nasional. Beberapa sumber mengatakan bahwa sebelum berperang, Bung Tomo sowan kepada Kiai Hasyim. Dari sowan tersebut Kai Hasyim memberikan saran kepada Bung Tomo untuk menyelipkan kalimat takbir sebelum pidatonya guna menggelorakan semangat para pejuang. 

Dan benar saja, pada saat berperang pada pertempuran Surabaya, Bung Tomo dengan pidato heroiknya berhasil menggelorakan semangat para pejuang sehingga pada saat itu Indonesia mengalami kemenangan atas Belanda. Momen tersebut tidak terlepas dari pencetusan Fatwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.

Pada ranah pemerintahan, terdapat banyak santri yang turut mewarnai kepemimpinan negeri ini. Sejumlah tokoh santri pernah memimpin negeri ini. Mulai dari sang Proklamator yang ternyata juga pernah mondok di Pondok Pesantren Al Basyariyah Cikeruh Sukanagara Cianjur. Selanjutnya adalah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Salah satu tokoh utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Putra beliau yang merupakan tokoh bangsa, KH Wahid Hasyim yang menjadi menteri agama pertama Republik Indonesia.

Cucu Mbah Kiai Hasyim, KH Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) merupakan Presiden ke 4 RI dan sekaligus pendiri Partai Kebangkitan Bangsa, salah satu partai bernuansa NU dan merupakan partai yang besar di Indonesia. Selain itu juga terdapat KH Ahmad Dahlan, rekan menuntut Ilmu KH Hasyim Asy’ari di Makkah yang merupakan pendiri Muhammadiyah, organisasi Islam modern yang berfokus pada pendidikan dan keagamaan. Ada juga KH. Agus Salim Menteri Luar Negeri Indonesia pada masa awal kemerdekaan. 

Dan kini ada KH Ma’ruf Amin, wakil presiden RI 2019-2024. Banyak juga para menteri dan para pemimpin daerah yang merupakan santri, Salah satunya adalah Bupati Jombang, HJ. Munjidah Wahab, putri dari KH Wahab Hasbullah salah satu tokoh NU dan juga Pahlawan nasional RI. Ada juga Beliau Bapak Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin (lebih dikenal dengan Mahfud MD), Menkopolhukam yang juga alumni pesantren di Pamekasan, Madura. Serta banyak lagi kalangan santri yang mewarnai kepemimpinan negeri ini dari generasi ke generasi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Lantas bagaimana kita berjihad di masa modern ini sedangkan kini sudah tidak ada penjajah atau bukan lagi zaman perang?, pertanyaan itu kerap kali muncul dibenak penulis mungkin juga dibenak para pembaca sekalian. Salah satunya adalah Jihadun Nafs, jihad untuk memperbaiki diri. Sebagai pemuda sekaligus santri hendaknya kita terus memperbaiki diri kita, memantaskan diri kita guna menjadi pemimpin di masa depan. Bukankah di pesantren kita sering mendengar maqolah “Subbanul Yaum, Rijalul Ghod”, yang artinya pemuda masa kini adalah pemimpin di masa depan. 

Kita adalah salah satu generasi emas indonesia. Sebentar lagi indonesia mendapatkan bonus demografi di golden age Indonesia 2045, dimana usia produktif lebih banyak daripada non produktif (usia kerja lebih banyak daripada usia prakerja dan pasca kerja). Hal ini tentunya akan membawa beberapa kemungkinan, yakni persaingan kerja semakin ketat. 

Jika persaingan kerja semakin ketat namun penyedia lapangan kerja tidak begitu banyak, lantas akankah menjadi bonus demografi atau malah menjadi bencana demografi karena banyaknya pengangguran?, Oleh karena itu, sebagai seorang santri yang ketika di pondok diajari berbagai disiplin ilmu dan ketrampilan sudah saatnya kita meningkatkan skill, meningkatkan kualitas diri kita agar layak menjadi pemimpin di tahun emas indonesia kelak. Jihad selanjutnya adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yakni terus berusaha taat kepada apa yang telah Allah perintahkan kepada kita dan terus berusaha menjauhi segala yang Allah larang.

Sayid al-Masmawi di dalam kitabnya Al-Jihad menyatakan jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, tapi jihad hari ini justru untuk hidup di jalan Allah. Apabila hidup seseorang sudah di jalan Allah, besar kemungkinan orang tersebut akan mati di jalan Allah. Syatha ad-Dimyathi menegaskan jihad itu salah satu pengertiannya adalah membantu mereka yang tidak punya, membantu mereka yang memiliki keterbatasan sandang, pangan, dan papan. Itu sebabnya, jihad bukan untuk berani mati di jalan Allah. Jihad pada zaman sekarang adalah jihad untuk hidup di jalan Allah.

sam-65355cd9edff7632063fe382.jpg
sam-65355cd9edff7632063fe382.jpg

Sebagai pemuda sekaligus santri atau pelajar, salah satu jihad yang relevan adalah dengan menuntut ilmu. Ada sebuah dalil dalam agama Islam yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ber-jihad. Mungkin dalil inilah yang kita cari dan relevan dengan kondisi sosial yang semakin maju meninggalkan cara-cara konvensional dalam aktivitas sehari-hari. Dengan kita belajar sungguh-sungguh, maka kita akan terbebas dari kebodohan. Salah satu cara untuk memajukan bangsa ini adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang ada. 

Masih banyak daerah-daerah terpencil yang belum terjamah akses pendidikan seperti kenikmatan yang kita rasakan saat ini. Hal ini seyogyanya menjadi tugas kita sebagai ‘agent of change’ untuk mencerdaskan generasi bangsa dengan cara mengamalkan ilmu yang kita dapat, entah itu ilmu agama maupun ilmu umum, yang terpenting adalah share apapun ilmu yang kita kuasai untuk mencerdaskan generasi bangsa. Bukankah jelas bahwa tolok ukur dari keberkahan suatu ilmu adalah dalam pengamalannya. Sering kali di pesantren kita mendengar maqolah “Al Ilmu bila amalin, kasajari bila tsamarin”, yang artinya ilmu tanpa pengamalan bagaikan pohon tanpa buah. Bayangkan ketika ilmu yang kita share kepada teman kita, lalu teman kita memahaminya dan meng-share ke yang lain dan terus dalam pola demikian, bukankah itu menjadi sebuah amal jariyah yang luar biasa bagi kita dan tentunya juga akan membawa perubahan luar biasa pula kepada generasi bangsa di masa depan.

Menjelang tahun politik saat ini lagi ramai-ramainya membahas mengenai calon presiden serta wakil presiden. Bukan hanya itu, juga mengenai caleg-caleg (singkatan dari calon legislatif) yang wajahnya berseliweran untuk mencari suara dukungan dari rakyat. Lantas sebagai santri bagaiman cara menyikapinya?, 

Penulis berusaha memberikan beberapa alternatif yang mana ini mungkin bisa menjadi tambahan wawasan mengenai sikap santri di tahun politik ini. Yang pertama adalah diperkenankan untuk ikut dawuh dari para Kiai, Bu Nyai. Tentunya beliau memiliki pandangan mengenai calon pemimpin yang layak untuk memimpin bangsa ini. Seperti yang dikemukakan oleh Almukarom  Romo KH Marzuqi Mustamar, salah seorang Ulama NU yang juga pimpinan Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek Malang, beliau mengatakan bahwa tentunya para Kiai memiliki hitungannya sendiri ketika mengatakan memilih pasangan calon A, B, atau C. 

Lantas jika tidak sesuai dengan pendapat Kiai, bagaimana santri menyikapinya?, yakni dengan diam. Diam disini berarti tetap ikuti pilihanmu jika itu berbeda dengan yang di-dawuh-kan oleh Kiai dan jangan sekali-kali untuk mendebat, mengkritik, atau bahkan menyebarkan hoax mengenai salah satu pasangan calon. Tentu saja hal tersebut jika kita lakukan dan didengar oleh Kiai kita, hal tersebut berpotensi menyakiti hati beliau. Dan ketika hal itu terjadi, maka keberkahan dari ilmu kita akan dipertaruhkan. Oleh karenanya, cukup diam saja ketika pilihan kita berbeda dengan Kiai kita. Bukankah tujuan kita mondok di pesantren bukan hanya mencari ilmu, melainkan juga keberkahan ilmu itu sendiri?. Tetap pilih pilihanmu sendiri, namun juga hormati Kiai yang sudah memberikan keilmuannya kepada kita sehingga kita dapat berfikir, beribadah dengan benar, dapat mengenal Tuhan kita Allah SWT.

sam-pndk-65355d39110fce5c602793d2.jpg
sam-pndk-65355d39110fce5c602793d2.jpg

Mengenai mereka pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakinlah bahwa mereka adalah putra-putra terbaik bangsa. Mereka adalah orang-orang baik yang memiliki cita-cita luar biasa terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, jangan ragu atas pilihan kalian karena pilihan kalian adalah penentu siapa yang paling baik dari mereka yang terbaik yang nantinya akan menjadi nahkoda Republik Indonesia dalam mengarungi hempasan ombak satu periode yang akan datang. Tentunya sebagai generasi santri milenial, golput bukanlah pilihan dan sudah seyogyanya untuk kita tidak golput dengan memilih satu yang paling baik diantra yang terbaik. Siapakah yang paling baik?, Wallahu’alam.

Tentunya tulisan ini memiliki banyak kekurangan karena ini merupakan hasil sempit pemikiran alfakir penulis yang tentunya jauh dari kata sempurna. Semoga tulisan ini memberikan manfaat terhadap pembaca. Semoga kita menjadi santri yang layak untuk memimpin masa depan bangsa. Selamat Hari Santri 2023: Jihad Santri, Jayakan Negeri.

 

Tulungagung, 22 Oktober 2023

Pujangga yang berusaha untuk menyembuhkan hati, Syahriza Azizan Sayid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun