Dewasa ini, isu perubahan iklim semakin mendapat sorotan dari publik. Hal ini menjadikan keberlanjutan industri sebagai suatu keharusan, termasuk industri perkebunan kelapa sawit. Mengingat industri sawit memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, mulai dari deforestasi hingga emisi gas rumah kaca, penting bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang mendukung sistem keberlanjutan.
Terlebih, Indonesia memegang peran penting dalam industri sawit dunia dengan menyumbang lebih dari 56% dari total ekspor minyak kelapa sawit (CPO) global. Namun, negara-negara importir kini mulai menuntut produk sawit yang ramah lingkungan. Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Melalui aturan ini, pemerintah mewajibkan industri sawit untuk memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Meskipun demikian, hingga tahun 2024, jumlah lahan perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi ISPO baru mencapai 35,6% dari total lahan sawit nasional. Padahal, pemerintah menargetkan sertifikasi ISPO rampung pada 2025. Sertifikasi yang belum merata ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya informasi dan masalah finansial, terutama di kalangan petani sawit kecil yang mengelola lahan secara swadaya.
Pemerintah menyadari hal ini dan berusaha mengambil tindakan. Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pemerintah terus berupaya mengakselerasi sertifikasi ISPO di Indonesia. BPDPKS sendiri merupakan lembaga pemerintah yang bertujuan mendukung industri kelapa sawit dari sisi sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, BPDPKS berperan penting dalam mengatasi masalah sertifikasi ISPO yang masih terjadi saat ini.
Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, menjelaskan bahwa BPDPKS menyediakan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan lembaga sertifikasi. Dengan demikian, petani sawit swadaya tidak perlu khawatir mengenai dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Namun, kebijakan pembiayaan ini telah dicabut, dan BPDPKS kini lebih fokus mengadakan kegiatan seperti pelatihan yang melibatkan petani secara langsung.
Hal ini diungkapkan Sunari dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta. Kebijakan tersebut diproyeksikan untuk mempercepat transformasi industri kelapa sawit menjadi lebih ramah lingkungan.
Namun, meskipun tujuan BPDPKS selaras dengan visi keberlanjutan industri sawit, ada beberapa kekeliruan dalam implementasi kebijakannya. Kegiatan pelatihan memang dapat mengatasi kurangnya informasi terkait sertifikasi ISPO di Indonesia, tetapi keterampilan yang dimiliki oleh petani tidak akan efektif jika tidak difasilitasi secara finansial.
Menurut pandangan masyarakat, ketika pemerintah membuat regulasi yang bersifat mandatori, implementasinya harus diikuti dengan fasilitas yang merata, khususnya untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam kasus sertifikasi ISPO, alih-alih mencabut kebijakan pembiayaan, pemerintah seharusnya memberikan subsidi kepada petani sawit swadaya, baik melalui BPDPKS maupun lembaga terkait lainnya.
Memang dapat dipahami bahwa pemerintah memiliki keterbatasan anggaran untuk memberikan subsidi. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan sertifikasi ISPO tetap menjadi solusi penting untuk masalah finansial. BPDPKS perlu mengkaji ulang penghapusan kebijakan pembiayaan tersebut, tentunya tanpa menghilangkan program pelatihan yang telah ada.
Kenapa hal ini penting?Â