Setelah Masuk ke sekolah dasar, susunan bintangku semakin bertambah. Aku ditunjuk sebagai ketua kelas dari mulai aku masuk sampai aku meyelesaikan pendidikanku di sekolah dasar. Mungkin bagi sebagian orang menjadi ketua kelas adalah hal biasa dan tak terlalu bermakna. Tapi tidak bagiku. Menjadi ketua kelas atas dasar pemilihan teman sekelas dan persetujuan guru wali kelas merupakan sebuah bintang yang membuatku merasa percaya diri untuk melakukan yang terbaik untuk teman-teman sekelasku dan guru kami tercinta.
Sebuah kepercayaan dari sebagian besar teman-teman sekelas adalah motivasi tertinggi dalam memimpin kelas selama aku menjadi ketua mereka. Titik awal kepemimpinan ini berperan penting dalam kehidupanku selanjutnya sampai terakhir aku menjabat sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden di Belanda.
Bintangku yang lain saat sekolah dasar adalah menjadi yang terbaik di kelas dari mulai aku hadir sampai aku lulus meninggalkan sekolah dasar Babussalam. Aku sangat senang dengan prestasi itu karena aku bisa membuat kedua orang tuaku bahagia dan bersyukur atas prestasi yang aku raih. Aku bahagia bisa membalas kepercayaan mereka bahwa aku bisa lebih baik dari mereka seperti apa yang mereka harapkan.
Tanpa terasa aku berada di penghujung pendidikanku di sekolah dasar. Aku mulai bingung untuk menentukan pilihan. Yang ada dalam pikiranku hanya hal seperti kebanyakan siswa di sekolah kami untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) di kecamatan. Jarang sekali dari mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Kebanyakan dari mereka berhenti setelah selesai di SMP atau MTs. Mereka menggunakan ijasah mereka untuk menjadi buruh di perkebunan karet dan kelapa sawit.
Masih ingat dengan dosen muda dari Bandung yang mengadakan perlombaan saat aku menjadi juara dan memutuskan untuk masuk sekolah? Ya, sahabat ayah itu datang lagi ke desa kami. Saat bertamu ke rumahku, dia mengajakku untuk ikut serta dengannya pergi ke pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Tawaran yang sangat menggiurkan apalagi diiming-imingi kolam renang dan fasilitas olahraga pesantren yang sangat lengkap. Ibu dan ayah tak menjawab tawaran itu langsung. Mereka menyerahkan semua keputusan kepadaku. Menurut mereka, aku yang berhak memutuskan karena aku yang akan menjalaninya.
Pada siang hari itu, ibu pulang dari ladang dan menghampiriku yang sedang makan siang. Ibu berkata,
“bagaimana menurut Alil (panggilanku) dengan ajakan Mang Ujang (panggilan si dosen muda itu)?” Aku mejawab, “menurut mama sendiri bagaimana?” “Mama dan Abah menyerahkan segala keputusan pada Alil. Apapun keputusan yang Alil ambil, akan kami dukung”.
Akhirnya aku memutuskan untuk menyetujui tawaran dari sahabat ayah untuk pergi ke pulau Jawa menuntut ilmu. Ibu meneteskan air mata. Terlihat di wajahnya kesedihan karena harus melepas putra pertamanya jauh menuntut ilmu di pulau Jawa. Aku juga tak mampu menahan air mata dan sesak di dada ini. Tapi keinginanku untuk merubah kehidupan kami sekeluarga lebih kuat dari keinginanku untuk bertahan dan tetap tinggal berada di dekat orang tuaku. Aku berfikir jika aku tinggal bersama mereka dan jadi pengangguran, itu akan membuat mereka lebih terbebani. Aku akan lebih bahagia melihat mereka senang ketika melihat putranya berhasil sampai menjadi sarjana meski harus berjauhan dalam beberapa waktu.
Itulah kehidupan yang aku fahami. Bahwa ada hal-hal yang harus dikorbankan saat kita menentukan pilihan prioritas dalam hidup. Jadi, pertimbangkanlah setiap pilihan dengan matang untuk mengurangi kesedihan atau terkadang rasa sakit yang akan kita alami di kemudian hari. Keputusanku bukan tanpa alasan. Ibu dan ayah selalu bilang bahwa aku harus bisa menaklukkan segala rintangan dan tak perlu mendengarkan suara-suara sumbang dari sekeliling kita yang bisa membuat pesimis dan mengubur dalam mimpi-mimpi yang sudah kita rencanakan. Dan aku tahu betul di lubuk hati yang paling dalam ibu dan ayah ingin aku sukses dalam jalur pendidikan.
Di desaku aku bukan yang pertama hijrah ke pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Sudah banyak anak-anak dan pemuda desa kami yang berangkat menimba ilmu di pondok pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurut ibu dan ayah, ada 1 kekurangan dari mereka setelah kembali ke kampong halaman. Mereka tidak mampu bersaing dalam memperoleh pekerjaan karena mereka tidak mempunyai ijasah sekolah formal (SMP, SMA atau perguruan tinggi). Dalam keilmuan agama, mereka sangat unggul tapi karena tidak mempunyai ijasah kelulusan, mereka tidak dapat melamar pekerjaan. Maklum untuk menjadi penjaga mesjid saja di sebuah perkebunan, pihak perkebunan meminta bukti sertifikat pendidikan formal. Ibu dan ayah mengijinkanku berangkat karena pondok pesantren sahabat ayah ini menyatukan antara pelajaran agama dan pelajaran umum sehingga kita mempunyai ijasah saat lulus.
Senja sudah mulai tiba. Ini hari terakhirku sholat maghrib sebelum berangkat ke tanah Jawa. Aku berangkat ke musholla di samping rumah kami. Ternyata ayah sudah berada di sana lebih dulu. Setelah sholat sunnah 2 rakaat, ayah menyuruhku untuk adzan Maghrib. Biasanya ayah yang sering melakukannya. Aku pun berdiri di sampingnya dan melantunkan adzan Maghrib.