Beberapa hari belakangan media massa dan media sosial seperti facebook dan twitter dipenuhi dengan berita tentang muslim Rohingya dari Myanmar. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengkritik Myanmar yang dianggap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM). Kritik juga mengarah pada sosok pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi yang dikenal sebagai pejuang HAM dan demokrasi negara tersebut tapi diam seolah membiar diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di negaranya. Kasus ini menjadi masalah baru yang dihadapi oleh negera-negara ASEAN terutama Indonesia dan Malaysia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di Indonesia, media sosial ramai memperbincangkan, mengkritik, sampai mendesak pemerintah untuk menyelamatkan manusia perahu dari Myanmar itu. Kebanyakan opini yang dibangun adalah atas dasar kepercayaan karena mereka Muslim. Di tengah-tengah pemerintah Indonesia mempertimbangkan langkah yang tepat untuk menangani para pendatang Muslim Rohingya ini, warga Aceh mengambil inisiatif untuk menerima mereka dan memberikan tempat tinggal sementara dengan bantuan kebutuhan pokok seadanya dari warga setempat. Langkah warga Aceh ini mendapat pujian di media sosial dan menyalahkan pemerintah yang terkesan ragu-ragu dalam bertindak.
Jika dipetakan, motivasi untuk mebantu Muslim Rohingya ada dua yaitu karena agama dan kemanusiaan. Di Indonesia, motivasi yang pertama lebih dominan dibanding yang kedua. Padahal motivasi kedua pun dapat ditemukan dalam ajaran Islam karena saling menolong dan menghormati itu adalah kewajiban seorang Muslim. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, manusia perahu dari Rohingya harus ditolong karena mereka Muslim dan terdzalimi tanpa mempertanyakan apa aliran yang dianut oleh Muslim Rohingya. Dari poin ini bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hal yang paling mendasar mengapa mereka ingin membantu Muslim Rohingya adalah kemanusiaan. Kesamaan keyakinan menjadi pertimbangan berikutnya. Secara manusiawi, kita tidak akan tega, minimal kata hati kita, membiarkan sesama manusia terusir dari rumah mereka sendiri, tidak diakui sebagai warga negara meskipun mereka dan nenek moyang mereka sudah tinggal disana sejak lama, dan berada di lautan terombang-ambing berhari-hari tidak makan. Pertanyaannya kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama atas dasar kemanusiaan kepada jama’ah Ahmadiyah? Bagaimana jika ternyata ada di antara Muslim Rohingya megikuti ajarah Ahmadiyah? Akankah bantuan terhadap mereka kita tarik kembali dan kemudian mengusir mereka kelautan? Jika kemanusiaan itu adalah alasan mengapa rasul diutus di muka bumi ini, sudah sepatutnya berbuat kebajikan tidak perlu dibatasi oleh perbedaan keyakinan.
Tulisan ini, yang sebagian diambil dari tesis magister saya, akan memaparkan secara singkat keberadaan jama’ah Ahmadiyah di Indonesia secara historis, kemudian menjelaskan diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam dan sebagian masyarakat Muslim sekaligus mempertanyaan peran pemerintah dalam mengawal kebesasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat Muslim di Indonesia khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas juga terjadi di Indonesia. Jika manusia yang bukan bagian dari negara ini pantas untuk ditolong, mengapa pada saudara sebangsa dan setanah air kita tidak mampu berlaku adil?
Ahmadiyah adalah gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, sebuah desa di Punjab India pada tahun 1889. Berdirinya Ahmadiyah ditandai ketika Mirza Ghulam Ahmad mendeklarasikan dirinya sebagai ’the promised messiah’ (penyelamat yang dijanjikan) bagi ummat Keristiani, nabi dan Imam Mahdi bagi ummat Islam, dan reinkarnasi dewa Krisna bagi ummat Hindu. Deklarasi ini menuai protes dari berbagai ormas keagamaan di India, tidak terkecuali ormas Islam yang menyatakan keyakinan yang dianut oleh Mirza Ghulam Ahmad sesat. Akibatnya, pengikut Ahmadiyah harus melakukan ibadah terpisah dengan masyarakat Muslim mainstream.
Pada perkembangannya, Ahmadiyah terpecah menjadi dua karena konflik internal perebutan kekuasaan setelah pergantian pimpinan yang ketiga kalinya dan perbedaan pandangan politik terhadap penjajah saat itu. Kelompok Ahmadiyah yang memisahkan diri dari dinamakan Ahmadiyah Lahore dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali dan Kwaja Kamal al Din pada tahun 1914. Berbeda dengan aliran Ahmadiyah Qadian, Ahmadiyah Lahore memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang pembaharu (mujaddid) dalam pemikiran Islam, bukan sebagai seorang nabi. Kedua aliran Ahmadiyah ini terus saling bertentangan sebelum kemudian perwakilan dari mereka dikirim ke Indonesia.
Menurut beberapa sumber, aliran Ahmadiyah masuk ke Indonesia melalui tiga orang siswa sekolah Thawalib di Sumatera yang belajar Islam ke India pada tahun 1922. Mereka awalnya ingin menuntut ilmu agama Islam ke Mesir, tapi gurunya Labai al Yunusiyah memberikan opsi untuk belajar ke India yang menurutnya kualitasnya sama dengan pendidikan Islam di Timur Tengah. Tiga siswa yaitu Abu Bakar Ayub, Ahmad Nuruddin, and Zaini Dahlan tiba di Lahore India dan belajar Islam disana. Kemudian mereka pindah ke Qadian untuk memperdalam ilmu mereka dan akhirnya mengikuti aliran Ahmadiyah Qadian setelah dibai’at. Selama studi di Qadian, mereka sering mengirim surat ke kampus halaman mereka di Sumatera menceritakan kesan mereka tentang ajaran-ajaran Ahmadiyah Qadian. Hasilnya, ada 23 siswa yang menyusul berangkat ke Qadian India dan menjadi pengikut Ahmadiyah Qadian.
Mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Islam di Qadian meminta Khalifah kedua Ahmadiyah Qadian Mahmud Ahmad berkunjung ke Indonesia. Mahmud Ahmad kemudian mengutus Maulana Rahmat Ali, seorang penceramah, mengunjungi Indonesia. Dia sempat belajar bahasa Indonesia kepada siswa Indonesia yang ada di Qadian sebelum datang ke Indonesia.
Rahmat Ali tiba di Tapaktuan Aceh pada bulan Agustus 1925. Penyebaran ajaran Ahmadiyah Qadian di Sumatera mendapat penolakan, khususnya kepercayaan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Muhammad. Meskipun demikian, ada beberapa orang yang tetap mengikuti ajaran Ahmadiyah Qadian. Pada tahun 1926 Jama’ah Ahmadiyah Qadian mendeklarasikan sebagai sebuah organisasi keagamaan di Indonesia yang anggotanya terdiri dari 15 orang diantaranya Muhammad Taher Sutan Maradjo, Daud Gelar Bangso Diradjo, Pakih Isa, and Bagindo Syarif. Organisasi ini menyebarkan ajaran mereka ke Aceh dan Palembang. Kemudian pada tahun 1931 Rahmat Ali pergi ke pulau Jawa untuk menyebarkan ajarannya. Akan tetapi dia tidak mengunjungi Yogyakarta karena disana sudah ada dua mubaligh Ahmadiyah Lahore yang diutus ke Yogyakarta pada bulan Maret tahun 1924.
Tidak ada sumber yang menjelaskan alasan kedatangan utusan Ahmadiyah Lahore ke Yogyakarta. Fakta yang ada menyatakan bahwa utusan Ahmadiyah Lahore punya hubungan yang baik dengan Muhammadiyah dalam memerangi penyebaran agama Kristen di Yogyakarta. Ini satu-satunya alasan yang bisa menjelaskan motif kedatangan utusan Ahmadiyah Lahore ke pulau Jawa. Sejak saat itu kedua aliran Ahmadiyah terus berkembang di Indonesia dan pengikutnya tersebar di seluruh Indonesia.
Penolakan terus terjadi tehadap penyebaran Ahamdiyah di Indonesia, baik Qadian maupun Lahore. Hubungan baik antara Ahmadiyah Lahore dan Muhammadiyah berakhir ketika Haji Rasul, pendiri sekolah Thawalib dan ayah dari Hamka, berkunjung ke Yogyakarta setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-14. Menurut Hamka ayahnyalah yang membuka mata Muhammadiyah tentang kesesatan ajaran Ahmadiyah Lahore. Begitu juga dengan Ahmadiyah Qadian yang datang ke Jawa Barat dan Jakarta mengalami penolakan dari para Ulama setempat. Debat terbuka pun diadakan berkali-kali.