Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun jawabanku. "Rani," aku berkata akhirnya, "aku pergi bukan karena aku ingin melupakanmu. Aku pergi karena aku ingin menemukan diriku sendiri. Dan di sini, jauh dari segalanya, aku menyadari satu hal---jarak itu bukan tentang tempat, tapi tentang keberanian untuk melangkah."
Dia menatapku, matanya berkaca-kaca. "Dan sekarang? Apa kau masih percaya bahwa kita bisa melangkah bersama?"
Aku mengangguk pelan. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi, Rani. Tapi jika kita sama-sama mau mencoba, aku percaya... kita bisa menemukan jalan."
Air mata akhirnya jatuh di pipinya. Tanpa ragu, aku menggenggam tangannya, untuk pertama kalinya tanpa takut, tanpa ragu. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa jarak di antara kami benar-benar lenyap.
Rani menatapku, mencoba mencari kata-kata. "Aku pikir aku akan baik-baik saja tanpamu, Robby. Tapi semakin aku mencoba melupakan, semakin aku sadar betapa besar jarak yang sebenarnya ada di dalam hatiku."
Aku mencoba menenangkan diriku. "Jadi, apa yang membuatmu datang sekarang?"
"Aku hanya ingin memastikan, apakah masih ada kesempatan untukku, robb" jawabnya.
Kami berjalan keluar rumah. Langit senja kekuningan, menciptakan bayangan panjang di sekitar kami. Setelah beberapa saat, aku berkata pelan, "Rani, kau tahu aku mencintaimu, bukan?"
Dia berhenti, menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku tahu, Robby. Tapi ada sesuatu yang sulit ku katakan."
Aku menahan napas. "Apa itu, Rani?"
Dia menarik napas panjang, tampak ragu. "Aku sudah menikah."