Hidup berputar, membawa kami ke jalan yang berbeda. Aku memilih mundur dari hiruk-pikuk kota dan menjalani hidup baru di desa kecil di kaki gunung. Desa itu sunyi, damai, dengan udara segar yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Di sana, aku mengajar anak-anak setempat di sekolah kecil, mencoba memberi mereka mimpi yang mungkin tak pernah mereka bayangkan.
Namun, di tengah kedamaian ini, nama Rani tetap mengendap di sudut pikiranku. Setiap sore, ketika senja datang, aku teringat wajahnya, senyum tipisnya yang selalu menyembunyikan sesuatu yang tak terkatakan. Aku mencoba melupakannya, tapi gagal. Puisi-puisi yang kutulis masih penuh dengan bayangannya.
Pada suatu sore, sebuah pesan masuk ke ponselku.
"Bolehkah aku datang ke tempatmu?"
Setelah jeda panjang, aku menjawab:
"Tentu saja. Tapi tempat ini sederhana. Mungkin kau tidak akan merasa nyaman."
Dia membalas cepat.
"Aku tidak mencari kenyamanan, Robby. Aku hanya ingin bicara."
Tiga hari kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah kecilku. Rani keluar dengan seorang pria di sisinya. Dia mengenalkan pria bernama David, partnernya dalam proyek sosial yang sedang mereka kerjakan. David tampak ramah, meski pakaiannya terlalu formal untuk suasana desa ini.
Kami berbicara di ruang tamu kecilku, obrolan awal terasa seperti basa-basi. David berbicara banyak tentang proyek mereka, sementara Rani duduk diam. Setelah beberapa saat, David pamit untuk melihat-lihat desa, memberi ruang bagi kami untuk bicara.
Begitu David pergi, keheningan menyelimuti. Aku menatapnya, tak ingin menyela. Kata-katanya terasa berat, seperti beban yang telah lama ia pikul sendiri.
"Robby," lanjutnya, suaranya gemetar, "aku tahu kita pernah berkata bahwa kita tak bisa melawan waktu atau kenyataan. Tapi aku lelah bersembunyi di balik semua itu. Aku hanya ingin tahu... apakah masih ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki semuanya?"