Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cangkir Retak di Kedai Senja

4 Februari 2025   19:00 Diperbarui: 4 Februari 2025   19:00 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aroma kopi robusta menyeruak dari celah-celah kayu kedai tua itu. Di sudut Jalan Kemiri nomor 8, Kedai Senja masih berdiri, meski cat papan namanya mulai pudar dimakan waktu. Tembok kayu jatinya menghitam, menyimpan jejak lima puluh tahun sejarah yang tak terucap. Di sudut ruangan, radio tua memutar lagu keroncong samar-samar, berpadu dengan derit lantai kayu setiap kali seseorang melangkah.

Pak Marjo mengusap noda kopi di celemek lusuhnya. Lima belas tahun sejak ia meninggalkan stetoskop dan jas putihnya, tapi tangannya masih gemetar tiap kali menuang air panas ke dalam cangkir. Matanya melirik cangkir retak di sudut meja---hadiah terakhir dari Lastri sebelum pneumonia merenggutnya. Ia menghela napas pelan, jari-jarinya mengusap pinggiran retakan halus itu.

"Maaf," bisiknya lirih, meski tahu permintaan maaf itu takkan pernah sampai.

Di luar, mendung menggantung berat. Pengunjung tetap sudah pulang, meninggalkan jejak percakapan dalam bentuk cangkir kosong dan abu rokok yang mendingin. Pak Marjo sedang mengelap meja ketika lonceng pintu berdenting.

Seorang pria muda masuk, langkahnya lesu. Kemejanya kusut, dasinya miring, dan sepatu mahalnya ternoda air genangan. Tangannya menggenggam map merah dengan logo perusahaan tambang tempat ia bekerja selama lima tahun terakhir. Ia menatap meja kayu dengan sorot mata kosong, seperti seseorang yang baru kehilangan arah.

Pak Marjo mengamati sekilas. Ada sesuatu yang familiar dalam ekspresi pria itu---bukan hanya kelelahan, tapi kehampaan. Ia pernah melihat tatapan itu, bertahun-tahun lalu, dalam pantulan cermin.

"Kopi?" tanyanya singkat.

"Robusta," jawab pria itu cepat. "Yang paling pahit."

Pak Marjo mengangguk. Ia mengenali permintaan semacam ini---orang-orang yang datang bukan sekadar ingin minum kopi, tapi ingin tenggelam di dalamnya. Ia mengambil biji kopi pilihan, menggilingnya perlahan. Mesin tua berdentang, bersahutan dengan detik jam dinding yang entah sejak kapan berhenti di angka lima.

Pria itu menghela napas berat. "Mereka bilang efisiensi." Suaranya serak, nyaris bergetar. "Lima tahun kerja keras, dipecat dalam lima menit." Jemarinya meremas pinggiran map merah. "Bulan lalu mereka janjikan promosi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun