Hujan rintik membasahi trotoar Malioboro. Jalanan yang biasanya ramai kini tampak lebih tenang, hanya sesekali dilalui becak dan motor yang melaju perlahan. Aku merapatkan jaket, menghela napas dalam udara yang bercampur bau tanah basah dan aroma makanan dari warung kaki lima. Tujuh hari cuti yang kuambil terasa seperti pelarian---pelarian dari promotion review yang gagal, dari tatapan kasihan rekan kerja, dan dari kekecewaan yang terpancar di mata orangtuaku.
Perutku mulai protes. Mataku menangkap sebuah warung gudeg kecil dengan asap mengepul dari dapurnya. Tanpa pikir panjang, aku melangkah masuk, mengusap air hujan dari rambut.
"Permisi, masih ada tempat kosong?" tanyaku pada pemilik warung.
"Silakan, Mas. Di sebelah sana masih ada," jawab si Ibu pemilik warung sambil menunjuk meja di sudut.
Aku baru saja hendak duduk ketika seorang perempuan masuk. Rambut hitam pendeknya tampak basah, dan kamera menggantung di lehernya. Ada yang familiar dari wajahnya, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti.
"Boleh gabung? Sepertinya tempat lain sudah penuh," tanyanya. Logat Makassarnya kental.
Aku mengangguk. "Silakan."
"Makasih," katanya sambil menarik kursi. "Saya Rina."
Nama itu membuatku tertegun. Sekelebat ingatan lima tahun lalu muncul dengan begitu jelas---gedung kampus di Bandung yang diselimuti kabut tipis pagi itu, aroma kopi dari paper cup yang kugenggam selama menjadi juri, dan debat panjang dengan sesama juri tentang sebuah foto series yang menggetarkan. Series itu menangkap tatapan kosong seorang nelayan tua yang menatap laut dengan jaring rusak di tangannya, diikuti gambar anaknya yang tertidur di bangku sekolah dengan buku yang masih terbuka---sebuah cerita tentang harapan yang terjalin di antara derita. Aku ingat bagaimana tanganku sedikit gemetar saat mengangkat kartu nilai, memberikan angka sempurna untuk keberanian yang jarang kutemui: keberanian untuk menunjukkan kegetiran hidup sekaligus secercah harapan dalam satu bingkai. Si fotografer, seorang mahasiswi dari Makassar dengan tatapan mata tajam dan suara yang gemetar saat mempresentasikan karyanya, mengangkat kisah yang terlalu sering dilewatkan media---kisah tentang bagaimana sebuah generasi berjuang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan tanpa meninggalkan tradisi.
"Tunggu... kamu Rina Daeng? Yang menang kompetisi foto di Bandung tahun 2019?"