Â
Senja turun perlahan di Jalan Braga, meninggalkan sisa hujan yang menggenang di jalanan. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya keemasan di aspal basah. Aroma tanah bercampur kopi menyeruak dari kafe-kafe tua, membawa kembali kenangan yang berusaha dikubur Adnan selama bertahun-tahun. Â
Ia berdiri di depan sebuah kafe dengan jendela besar yang menghadap trotoar. Dari luar, ia bisa melihat meja kayu di sudut ruangan—masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Goresan-goresan halus di permukaannya, noda kopi di tepinya. Â
Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk. Â
Seorang pelayan wanita paruh baya mendekat dengan langkah tenang, celemek cokelat tua melilit pinggangnya. Wajahnya lembut, dihiasi garis-garis halus di sudut mata—jejak waktu yang menjadikannya tampak akrab, seperti seseorang yang telah lama mengenal tempat ini dan kisah-kisah yang berulang di dalamnya. Â
"Kopi hitam, tanpa gula," ujar Adnan, suaranya nyaris tenggelam dalam denting sendok yang beradu dengan cangkir di sekelilingnya. Â
Pelayan itu mengangguk kecil, senyumnya ramah, seakan memahami bahwa pria di hadapannya datang bukan sekadar untuk minum kopi, tetapi juga untuk menghadapi sesuatu yang tak kasatmata. Â
Setelah ia pergi, Adnan menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan tatapannya hanyut keluar jendela. Butiran air hujan masih menempel di kaca, memantulkan cahaya lampu jalan yang baru menyala. Di trotoar, orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, payung warna-warni mereka sesekali beradu, menciptakan percikan kecil dari sisa hujan. Â
Tak jauh dari sana, seorang pelukis jalanan sibuk merapikan kanvasnya, mengamati lukisan setengah jadi dengan tatapan puas bercampur letih. Sementara itu, di bawah naungan kanopi tua, seorang musisi jalanan memetik gitarnya perlahan. Nada-nada yang mengalun terdengar samar, tenggelam dalam suara hujan yang mulai mereda—sendu, namun tetap hidup, seperti kenangan yang enggan sepenuhnya pudar.
Adnan merogoh saku jasnya dan mengeluarkan dompet lusuh. Di dalamnya, terselip sebuah foto lama. Seorang gadis tersenyum ke arah kamera, mengenakan sweater abu-abu dan syal merah. Di balik foto itu, tulisan tangannya yang hampir pudar masih bisa terbaca. Â