Langit senja di Jalan Jingga terbentang seperti kanvas raksasa, dihiasi warna oranye keemasan yang menghangatkan kota Metronia dalam nuansa melankolis. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya matahari yang mulai tenggelam, menciptakan kilasan-kilasan keemasan yang menari di jendela-jendela kaca. Di depan sebuah kafe kecil bernama Aurora, aku berdiri memandang keramaian yang berlalu-lalang, menggenggam secangkir kopi yang mulai mendingin.
Jantungku berdegup tak menentu. Dua puluh tahun berlalu, dan hari ini aku akan bertemu Danu lagi. Waktu yang panjang itu terasa seperti mimpi yang kabur---serangkaian momen yang tersimpan dalam kotak kenangan yang selama ini kukunci rapat-rapat.
Suara langkah mendekat, pelan namun tegas, seolah memisahkan keramaian di sekitarnya. Aroma parfum maskulin yang familiar menyapa, membawa kembali serpihan-serpihan memori yang selama ini kucoba lupakan.
"Danu," bisikku pelan, hampir tak terdengar di tengah deru kota.
Dia berdiri di hadapanku, masih dengan postur tegap yang sama seperti dulu. Rambutnya kini dihiasi uban di beberapa bagian, dan kerutan halus mulai menghiasi sudut matanya. Tapi senyumnya---senyum itu masih sama, masih memiliki kekuatan yang sama untuk membuat duniaku berhenti berputar.
"Kamu masih suka menikmati senja, ya?" katanya, suaranya dalam dan hangat seperti yang kuingat.
Aku membalas dengan senyuman tipis, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaraku. "Dan kamu masih suka datang tiba-tiba tanpa kabar."
Dia tertawa kecil, suara tawa yang membawa kembali ribuan kenangan. Tangannya merogoh tas kulit yang tersampir di bahunya, lalu meletakkan sebuah buku catatan tebal bersampul kulit cokelat di atas meja. Buku itu tampak usang, dengan halaman-halaman yang menguning dan punggung buku yang mulai terkelupas.
"Aku punya sesuatu untukmu. Kejutan. Ayo ikut."
Aku memiringkan kepala, menatapnya dengan rasa ingin tahu yang bercampur keraguan. "Kejutan apa?"