Gadis itu mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya. Namun kali ini, senyum itu tampak penuh makna, seolah ada sesuatu yang lebih yang ingin ia bagi. "Aku kehilangan orang tuaku tahun lalu. Kecelakaan. Rasanya seperti... seluruh dunia berhenti berputar. Aku menyalahkan diriku, merasa gagal sebagai anak. Tapi seiring waktu, aku sadar bahwa mereka tidak pernah benar-benar hilang. Mereka ada dalam setiap pelajaran yang mereka ajarkan, dalam setiap kenangan yang mereka tinggalkan. Sekarang, aku mencoba menikmati hal-hal kecil. Segelas kopi, angin sore, bahkan percakapan dengan orang asing seperti ini."
Ares terdiam, merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam dirinya. Rasa hangat itu tidak datang dari kopinya, melainkan dari kehadiran gadis itu yang membuatnya merasa tidak sendiri. Ia merasa seolah dunia telah memberi kesempatan kedua, meskipun ia belum sepenuhnya memahami arti dari kesempatan itu.
"Terima kasih sudah mendengarkan," kata Ares pelan, suaranya penuh rasa terima kasih yang tulus.
"Terima kasih juga sudah berbagi," jawab gadis itu dengan senyum yang lebih lebar, sebelum perlahan berdiri untuk pergi. Namun, sebelum meninggalkan kafe, ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dan meletakkannya di meja Ares. "Ini untukmu. Tulis cerita panjangmu di sini. Setiap akhir adalah awal baru, kan?"
Ares membuka buku itu dengan hati penuh rasa ingin tahu. Halaman pertama kosong, kecuali sebuah tulisan kecil yang tercetak rapi: "Jangan berhenti menulis cerita panjangmu." Kata-kata itu menggetarkan hatinya, dan ia merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar buku di tangannya. Mungkin itu bukan hanya tentang cerita yang akan ia tulis, tetapi tentang hidupnya yang belum berakhir, yang masih terus berjalan, menunggu untuk dijalani.
Ares menatap buku itu dengan perasaan yang campur aduk---syukur, bingung, dan penasaran. Ketika gadis itu melangkah keluar dari kafe, Ares hanya bisa memandanginya, punggungnya yang perlahan menghilang di tengah keramaian Malioboro yang mulai hidup kembali. Suasana di luar kembali riuh, namun ada ketenangan yang menyelimuti hatinya. Ia menyeruput kopinya sekali lagi---kali ini, rasanya lebih manis, seolah menyatu dengan perubahan yang mulai terasa dalam dirinya.
Namun, saat ia membuka buku itu kembali, sesuatu yang aneh terjadi. Halaman pertama yang sebelumnya kosong kini terisi dengan tulisan besar yang seolah ditulis dengan tangan yang berbeda---"Aku menunggu kamu di sana." Tulisannya itu menggema di benaknya, dan Ares terdiam, meresapi setiap kata. Ia mendongak, mencari-cari gadis itu di antara kerumunan, namun tak ada tanda-tanda kehadirannya. Ia berpikir, apakah ini hanya imajinasinya saja? Ataukah, seperti dalam kisah-kisah yang sering ia baca, ia tengah terperangkap dalam perjalanan waktu yang memutar takdirnya kembali ke titik yang lebih penting?
Di tengah keramaian, Ares tahu, ini baru permulaan. Sebuah cerita panjang yang tak akan ia hentikan, karena mungkin, jawaban atas segala kehilangan itu, ada di balik setiap langkah yang ia ambil setelahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI