Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Segelas Kopi di Malioboro

24 Januari 2025   17:33 Diperbarui: 24 Januari 2025   17:33 4424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Malioboro. Simber foto: dokumen pribadi 

Senja di Malioboro biasanya penuh dengan kehidupan---gelak tawa turis, teriakan pedagang yang menawarkan dagangan, dan alunan musik jalanan yang memeriahkan suasana. Namun sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Di sudut sebuah kafe kecil, Ares duduk diam, memandangi segelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis. Cangkir itu berwarna hitam pekat, dengan aroma yang begitu familiar, namun seolah tak mampu menyentuh indra penciumannya. Di luar, warna jingga senja memeluk Yogyakarta dengan lembut, namun di matanya, cahaya itu tampak pudar, seakan kehilangan daya magisnya. Hiruk-pikuk khas Malioboro, yang biasanya membahana, kini terasa begitu jauh. Suasana itu terasa sepi, hanya ada denting gamelan samar dari toko seberang, suara kendaraan sesekali melintas, dan bisikan angin yang tak cukup mampu menggoyahkan kekosongan di hatinya. Seperti dirinya, kota ini tampaknya sedang menyimpan sebuah cerita yang belum tuntas.

Ares mengangkat cangkir itu, menyeruput perlahan, berharap menemukan rasa yang lebih dari sekadar pahit. Namun, rasa pahit itu hanya mengisi kehampaan yang begitu dalam di dadanya, tak pernah berhasil menjamah lidahnya. Waktu di depannya seperti membeku, membawa Ares kembali ke sepuluh tahun silam, ke saat pertama kali ia menjejakkan kaki di Malioboro di usia 20 tahun. Waktu itu, dunia tampak penuh dengan gairah dan impian yang besar. Ia merasa tak ada yang tak bisa ia raih, dan jalan menuju kesuksesan begitu jelas. Ia percaya, dengan kerja keras dan tekad, tak ada mimpi yang terlalu besar. Dan benar saja, satu per satu impiannya terwujud---nama, pencapaian, dan kesuksesan menghiasi hidupnya. Namun, ada satu hal yang tak pernah ia sadari---setiap kemenangan, seiring berjalannya waktu, memiliki harga yang harus dibayar. Harga itu datang begitu perlahan, seperti kutukan yang menggerogoti hal-hal yang paling berharga dalam hidupnya tanpa ia sadari.

Sepuluh tahun telah berlalu, dan kini Ares duduk di usia 30-an, jauh dari bayangannya sebagai pemuda yang penuh semangat dan ambisi. Hidupnya, yang dulu ia kira penuh dengan pencapaian, justru terasa seperti ladang kehilangan. Ia telah melewatkan waktu bersama keluarga yang kini semakin terasa jauh, persahabatan yang perlahan memudar, dan cinta yang pernah ia pikir tak tergantikan. Ironisnya, di tengah deretan pencapaian yang seharusnya membanggakan, Ares justru merasa dikelilingi oleh kesepian yang menggigit---seperti bayangan gelap yang terus mengikutinya, meski ia berdiri di tengah sorotan cahaya. Ia telah meraih segalanya, namun entah mengapa, semuanya terasa hampa.

Dalam hening yang begitu pekat, Ares terperangkap dalam lamunannya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba, suara lembut itu memecah kesunyian, meluncur masuk dengan cara yang begitu halus, hampir seperti bisikan yang membangunkannya dari dunia mimpinya. "Kenapa kopi itu terlihat lebih pahit dari biasanya?" Suara itu datang begitu mendalam, menarik perhatian Ares lebih lama dari yang ia harapkan. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok seorang gadis muda yang berdiri di sana. Rambutnya yang dikuncir sederhana tampak kontras dengan tatapan tajam di matanya yang penuh rasa ingin tahu. Ia mengenakan kaus putih dan celana kain longgar, begitu santai namun entah mengapa, tampak begitu memikat. Gadis itu tersenyum kecil, senyuman yang tidak bisa ditebak, sebelum perlahan mengambil tempat di meja sebelah. Dengan gerakan lembut, ia memiringkan kepalanya, seolah ingin tahu lebih banyak tentang dunia yang tersembunyi dalam diri Ares.

Ares hanya diam, matanya masih terfokus pada gadis itu, merasa aneh dengan kehadirannya yang begitu tak terduga. Gadis itu tak segera berbicara lagi, seolah memberikan ruang bagi Ares untuk membuka dirinya jika ia mau. Akhirnya, suara lembut itu kembali terdengar, "Maaf, boleh aku tahu apa yang membuatmu terlihat begitu sedih?" tanyanya, suaranya meluncur ringan, namun cukup dalam untuk menarik perhatian Ares lebih lama dari yang ia harapkan. Pertanyaan itu datang begitu mendalam dan tiba-tiba, seolah menembus lapisan-lapisan pikirannya yang telah lama terkunci. Namun, ada sesuatu dalam cara dia berbicara---lembut, penuh ketulusan---yang membuat Ares merasa nyaman, seperti berbicara dengan seseorang yang telah lama dikenalnya, meskipun ia baru bertemu beberapa menit yang lalu.

Ares terdiam sejenak, ragu-ragu. Ia tak tahu harus berkata apa. Namun, sesuatu dalam diri gadis itu membuatnya merasa aman, seolah ia bisa membuka diri tanpa takut dihakimi. Perlahan, ia mulai berbicara. "Aku hanya... sedang berpikir. Tentang hidupku," jawab Ares akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya, seolah berbagi sebuah rahasia yang telah lama terkubur di dalam dirinya.

Gadis itu tidak terburu-buru, hanya mengangguk perlahan. "Dan?" katanya, seolah memberikan ruang lebih bagi Ares untuk melanjutkan. Ia menyeruput kopinya perlahan, matanya yang penuh perhatian terus menatap Ares tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Ada sesuatu dalam cara gadis itu mendengarkan, tanpa menyela, tanpa menilai, yang membuat Ares merasa dihargai. Seolah ia tahu, ada lebih banyak cerita yang perlu diungkapkan.

Ares pun akhirnya melanjutkan, menceritakan perjalanannya---mimpi-mimpi besar yang pernah ia kejar, perjuangan yang tak kenal lelah, dan keberhasilan yang seolah mengangkatnya ke puncak dunia. Namun di balik semua itu, ada luka yang tersembunyi rapat---keluarga yang semakin terasa jauh, sahabat yang pergi tanpa sepatah kata, dan cinta yang hilang di persimpangan jalan hidupnya. Semua itu ia ceritakan dengan cara yang berbeda, seolah ia tengah membuka lembaran lama yang tidak ingin ia ingat, namun tak bisa ia lupakan.

Gadis itu mendengarkan dengan seksama, tidak ada tanda-tanda rasa iba, hanya perhatian penuh yang terlihat jelas di matanya. Sesekali ia mengangguk pelan, memberi tanda bahwa ia memahami. Ketika Ares selesai bercerita, gadis itu menatapnya dengan senyum kecil, senyum yang kali ini terasa lebih dalam, lebih bermakna. "Tahu nggak?" katanya, suara lembutnya memecah keheningan yang mengalir. "Aku rasa kita sering mengira kehilangan itu adalah akhir dari segalanya. Padahal, bisa jadi itu hanya jeda---untuk menemukan hal yang lebih berarti."

Ares tertegun, kalimat itu menghantamnya seperti aliran listrik yang menyadarkannya dari lamunan panjang. "Kamu pernah merasa seperti itu juga?" tanyanya, penasaran dengan apa yang ada di balik kata-kata gadis itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun