Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laras Waktu

6 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 5 Januari 2025   16:39 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Narendra Bayu mengangkat tangannya dengan gerakan halus namun tegas. Dalam sekejap, orkestra kecilnya di Yogyakarta terdiam, seperti air yang mendadak membeku di tengah riaknya. Gema nada-nada terakhir dari Symphony No. 40 karya Mozart menggantung di udara, memenuhi ruang latihan gedung tua yang menjadi saksi kerja keras mereka. Gedung ini, dengan dinding-dinding tinggi dan lantai kayu yang berderit, telah menjadi rumah kedua bagi Narendra selama dua puluh lima tahun terakhir.

Di dinding ruangan, sebuah jam antik warisan ayahnya berdetak dengan presisi yang nyaris obsesif. Tepat pukul tujuh pagi. Hujan masih turun sejak subuh, menciptakan irama konstan yang menembus jendela-jendela tua gedung latihan. Narendra menatap anggota orkestra yang hadir tepat waktu---sesuatu yang langka terjadi di Yogyakarta saat hujan deras. Wajah-wajah muda itu menatapnya dengan penuh konsentrasi, menggenggam alat musik mereka seperti senjata yang siap dihunuskan.

Di antara mereka, Narendra melihat Anita, concertmaster-nya yang berbakat, dengan biola Stradivarius pemberian neneknya. Di sebelahnya, Bimo dengan cello yang selalu disetel ulang setiap pagi, dan Miranda yang tak pernah lepas dari klarinet kesayangannya. Mereka semua adalah keluarga yang dipilihnya sendiri, ditempa oleh ribuan jam latihan dan mimpi bersama.

"Mozart, Symphony No. 40 in G minor. Dari awal," ucapnya, mengangkat baton dengan keyakinan yang telah dibangun selama empat dekade bermusik. Setiap gerakan tangannya membawa kenangan akan ayahnya, seorang pemain biola yang menghabiskan hidupnya di orkestra-orkestra kecil Yogyakarta, mengajarkan bahwa musik bukan sekadar nada, tapi juga disiplin dan dedikasi.

Namun, di tengah gerakan kedua, saat violin section mengalunkan nada-nada minor dengan harmoni yang tertata, sebuah melodi asing merayap masuk dari luar. Awalnya samar, seperti bisikan angin, tetapi perlahan melodi itu semakin jelas, menembus harmoni Mozart yang sedang dimainkan. Narendra mengenali nuansa gamelan dalam melodi itu, sesuatu yang familiar sekaligus asing di telinganya yang terlatih dengan musik klasik Barat.

Narendra menghentikan orkestra dengan satu gerakan tegas. Tanpa kata-kata, ia melangkah menuju pintu, meninggalkan anggotanya dalam kebingungan. Udara pagi Yogyakarta yang lembap menyambutnya, membawa aroma tanah basah dan nostalgia yang tak bisa dijelaskan. Kakinya melangkah cepat melewati deretan angkringan yang baru membuka, mengikuti melodi yang semakin jelas.

Di emperan Stasiun Tugu yang berdiri tak jauh dari situ, seorang gadis remaja berdiri dengan biola tua di tangannya. Rambutnya yang basah menjuntai, sweater lusuhnya kebesaran. Yang menarik perhatian Narendra bukan hanya penampilannya yang kontras dengan lingkungan stasiun, tetapi cara gadis itu bermain---jemarinya menari di atas senar dengan teknik yang tidak teratur, melanggar semua aturan yang Narendra yakini selama ini.

"Siapa yang mengajarimu bermain seperti itu?" tanya Narendra, berusaha menyembunyikan kekagumannya.

Gadis itu membuka matanya perlahan, menampakkan sorot yang dalam dan tajam. "Waktu," jawabnya singkat. "Saya belajar dari suara kereta yang lewat, tetesan hujan, dan dengkuran ibu saya yang sakit. Setiap suara punya ceritanya sendiri, Pak. Biola ini," dia mengangkat instrumennya dengan hati-hati, "warisan dari ayah yang tidak pernah saya kenal. Kata ibu, dia pemain gamelan yang bermimpi menjadi violinis."

"Siapa namamu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun