Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Dago

24 Desember 2024   15:54 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:54 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: liputan6.com

"Wilujeng sumping, mangga!" sapa seorang pria paruh baya dari balik meja konter. Senyumnya ramah, khas orang Sunda. "Diluar hujannya lebat pisan. Silakan duduk dulu, nanti saya bawakan handuk kering."

Sarah dan Maya memilih meja dekat jendela besar, tempat mereka bisa melihat tetesan hujan yang semakin deras mengguyur Dago. Interior kedai ini ternyata jauh lebih menarik dari yang terlihat dari luar. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan dalam berbagai ukuran -- dari sketsa kecil hingga kanvas besar yang menggambarkan sudut-sudut kota Bandung.

"Ini handuknya, Neng," pria itu kembali dengan dua handuk bersih dan menu di tangannya. "Saya Rahmat, pemilik kedai ini. Spesial untuk yang kehujanan, saya sarankan kopi Java Preanger. Dipetik langsung dari kebun sendiri di Pangalengan. Mau ditambah pisang goreng kriuk? Masih anget."

Maya yang sedang mengeringkan rambutnya terpaku pada salah satu lukisan. "Pak, ini lukisan Jalan Braga ya? Kok beda banget sama yang sekarang?"

"Ah, Neng tertarik dengan lukisan? Itu Braga tahun 1920-an, waktu masih jadi pusat mode. Makanya Bandung dijuluki Parijs van Java," Pak Rahmat menjelaskan dengan antusias. "Saya yang melukis. Dulu cuma iseng belajar dari pelanggan yang sering melukis di sini. Eh, malah jadi ketagihan."

Sarah tiba-tiba meletakkan handuknya. "Bapak bisa ajarin kami tidak?"

"Wah, kebetulan sekali!" Pak Rahmat tersenyum lebar. "Ini peralatan melukis saya masih lengkap. Mau coba sekarang? Toh hujannya masih deras."

Pengunjung lain yang awalnya sibuk dengan aktivitas masing-masing mulai tertarik. Seorang pria berkacamata yang sedang menyesap kopinya mendekat. "Saya Pak Adi, dosen seni rupa ITB. Boleh saya ikut memberi tips?"

Tidak lama, meja Sarah dan Maya berubah menjadi studio mini yang hidup. Cat air beraneka warna berjajar seperti pelangi kecil, kuas-kuas menari di tangan mereka yang masih kaku, dan kertas gambar putih menantang untuk dijamah. Sarah hampir menjatuhkan gelas kopinya saat tangannya gemetar mencoba teknik sapuan pertama.

"Aduh, susah banget!" keluh Sarah frustasi melihat catnya malah menggenang tidak karuan. Sementara Maya menggigit bibir, fokus luar biasa sampai ujung lidahnya tanpa sadar menjulur keluar - kebiasaannya saat berkonsentrasi tinggi.

"Tenang... tenang... melukis itu seperti meditasi," Pak Rahmat tertawa kecil sambil membenarkan posisi tangan Sarah. "Coba rasakan kuasnya, jangan dikendalikan, biarkan dia mengalir seperti air hujan di luar sana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun