Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial yang kita hadapi, profesi guru tetap menjadi salah satu pilar utama pembentuk karakter bangsa. Namun, apa jadinya ketika niat tulus seorang pendidik untuk membimbing muridnya justru berakhir dengan jeratan hukum? Kasus yang menimpa Pak Rufi'an, guru Pendidikan Agama Islam di SMP Diponegoro Dampit, Kabupaten Malang, menjadi cermin betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi para guru di era sekarang.
Sosok Pak Rufi'an bukanlah potret guru yang hidup bergelimang kemewahan. Sebaliknya, beliau adalah contoh nyata dedikasi seorang pendidik yang rela membagi waktu antara mengajar dan berjualan jemblem demi mencukupi kebutuhan hidup.Â
Kesederhanaan dan ketulusan hatinya tercermin dari pengakuannya sendiri: "Saya tidak tahu status itu apa, yang jelas dari pertama saya dipanggil itu saya ditanya-tanya oleh penyidik Bu Leha. Sesudah itu sejak memenuhi panggilan pertengahan Oktober saya diminta absen tiap seminggu dua kali."
Ironisnya, sebuah tindakan yang dimaksudkan sebagai bentuk perhatian terhadap ibadah sholat siswanya, kini membawa konsekuensi hukum yang mengancam masa depan karirnya sebagai pendidik. Tamparan ringan yang diberikan, meski tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, sesungguhnya berangkat dari kepedulian terhadap kehidupan spiritual anak didiknya.Â
Dampak dari kejadian ini sangat memukul mental sang guru, sebagaimana diungkapkannya: "Saya sedih sampai-sampai tidak bersemangat lagi membuat jemblem."
Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan memang tak terelakkan. Sebagaimana disampaikan Kabid PAI Kanwil Kemenag Provinsi Jatim, Amak Burhanudin: "Beda dengan zaman dahulu, saya dijewer guru orang tua ikhlas saja. Akan tetapi jaman sekarang orang tua ada yang tidak terima, ujungnya lapor polisi.Â
Sehingga jadi masalah seperti sekarang ini." Transformasi ini membuat para guru harus ekstra hati-hati dalam bertindak, bahkan ketika motivasinya adalah demi kebaikan siswa itu sendiri.
Yang menarik untuk dicermati adalah respons komunitas pendidik terhadap kasus ini. Asrori, mewakili MGMP PAI SMP, menegaskan dukungan mereka: "Untuk Pak Rufi'an insyaallah kami siap membantu menopang kehidupannya selama menjalani proses hukum. Kami sudah menggalang dana iuran sepuluh ribuan, untuk meringankan biaya transportasi dan urusan hukum."Â
Solidaritas ini menunjukkan bahwa nasib seorang guru bukanlah tanggung jawab individual semata, melainkan tanggung jawab bersama.
Sikap Pak Rufi'an sendiri patut diapresiasi. Meski menghadapi tuntutan yang tidak ringan, beliau tetap menunjukkan kerendahan hati. Bahkan ketika diminta membayar denda 70 juta rupiah, responsnya tetap santun: "Waktu itu saya tawar 2 juta sesudah rundingan dengan keluarga saya yang mau membantu, tapi orang tua D tidak mau." Kesediaannya untuk introspeksi dan berjanji menjadi guru yang lebih baik mencerminkan jiwa pendidik sejati.