Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Getar Mimpi di Ujung Desa

29 November 2024   20:57 Diperbarui: 29 November 2024   20:57 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bel istirahat berbunyi, namun Pak Yayat tidak langsung meninggalkan kelas. Murid-muridnya masih berkumpul, menatapnya dengan penuh perhatian setelah mendengar beragam kabar tentang tunjangan guru yang beredar di luar sana.

Ruang kelas sederhana itu terasa pengap. Dinding-dinding papan yang sudah menguning menyimpan jutaan kenangan. Setiap sudut ruangan berbicara tentang perjuangan pendidikan di desa terpencil. Papan tulis yang sudah usang, beberapa kursi yang retak, dan jendela kaca yang mulai pecah menjadi saksi bisu dedikasi seorang guru.

Di balik sederhana ruangan ini, tersimpan kisah perjuangan Pak Yayat yang tak terlihat. Ia adalah seorang guru yang telah mengabdikan hidupnya di desa terpencil ini selama puluhan tahun. Setiap bekas goresan kapur di papan tulis, setiap lipatan buku tua di mejanya, menceritakan perjalanan panjang seorang pendidik yang tak kenal lelah. Ia tidak pernah mempermasalahkan keterbatasan fasilitas atau minimnya kesejahteraan. Baginya, setiap anak didik adalah harapan masa depan yang harus diasuh, dibimbing, dan dicerahkan.

Dalam hati kecilnya, Pak Yayat tahu bahwa pengabdian tidak bisa diukur dengan materi. Ia masih ingat betapa sulitnya mendapatkan kepercayaan masyarakat desa untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Kini, melihat murid-muridnya yang antusias, ia merasa setiap tetes keringat dan air mata yang ia curahkan tidaklah sia-sia.

"Anak-anak," ujarnya tenang, "mari kita bicarakan tentang informasi yang kalian dengar."

Adi, murid paling kritis di kelas, langsung mengacungkan tangan. Ia anak seorang petani yang selalu haus akan pengetahuan. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. "Pak, benarkah guru akan dapat tambahan gaji 2 juta?"

Maya, siswi bermimpi menjadi dokter, menatap Adi dengan sedikit kagum. Ia tahu betul bagaimana temannya itu selalu berani mengungkapkan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Dalam hatinya, ia berharap suatu saat nanti bisa seperti Pak Yayat - sosok yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi.

Pak Yayat tersenyum. Ia menurunkan sebuah peta konsep di papan tulis, menjelaskan dengan sabar tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG). Setiap garis yang ia tarik menjelaskan detail sertifikasi, menunjukkan bahwa tunjangan ini bukanlah hal baru.

Maya, dengan rambut hitam tersisir rapi, memperhatikan dengan seksama. Seragam putih bersihnya menyembunyikan latar belakang keluarga sederhana. "Jadi bukan uang baru, Pak?"

"Tepat," balas Pak Yayat. "Ini pengakuan akan profesionalisme guru, bukan sekadar uang."

Beberapa murid lain mulai bertanya. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, membentuk diskusi yang hidup. Pak Yayat tidak sekadar menjawab, tetapi membimbing mereka untuk berpikir kritis.

"Media sosial," ujarnya, "bisa dengan cepat menyebarkan informasi. Tapi kalian harus selalu memeriksa kebenarannya. Jangan mudah terpancing isu yang tidak berdasar."

Ia menjelaskan panjang lebar tentang sertifikasi guru. Bahwa tunjangan profesi sudah ada sejak lama, sejak era Presiden SBY. Bukan sekadar tambahan uang, melainkan pengakuan akan dedikasi para pendidik.

Di luar jendela, pepohonan bergoyang. Dedaunan hijau seakan turut menyimak pelajaran yang tak biasa ini. Bukan sekadar materi akademis, melainkan pelajaran tentang kehidupan, tentang integritas, dan pentingnya memahami informasi secara utuh.

"Sertifikasi guru," Pak Yayat melanjutkan, "bukan soal berapa besar uang yang diterima. Ini tentang tanggung jawab moral untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan."

Murid-muridnya tertegun. Mereka memahami bahwa di balik selembar sertifikat dan sejumlah tunjangan, ada pengabdian yang jauh lebih berharga.

Adi mengangkat tangan lagi. "Kalau begitu, apa yang membuat seorang guru tetap mengajar, Pak? Bukankah gajinya tidak seberapa?"

Pertanyaan itu menusuk ke inti persoalan. Pak Yayat terdiam sejenak. Ia membawa murid-muridnya pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna pengabdian.

"Gaji bukan segalanya," ujarnya lembut. "Membuka mata dan pikiran kalian, melihat kalian tumbuh, berkembang, dan bermimpi - itulah upah terindah seorang guru."

Senyum mengembang di wajah murid-muridnya. Mereka mulai memahami bahwa pendidikan jauh lebih bermakna daripada sekadar materi.

Bel masuk berbunyi. Namun hari itu, pelajaran tidak hanya tentang angka dan rumus. Ini tentang kehidupan, tentang memahami realitas, tentang pentingnya berpikir kritis.

Di ruang kelas sederhana itu, di antara deretan meja kayu yang sudah usang, Pak Yayat telah mengubah momen ini menjadi pelajaran berharga. Bukan tentang uang, melainkan tentang pentingnya memahami informasi secara kritis.

Murid-muridnya mendengarkan. Di luar jendela, dedaunan bergoyang, seakan turut menyimak kisah tentang pengabdian seorang guru di ujung desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun