Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serpihan yang Retak

20 November 2024   15:15 Diperbarui: 20 November 2024   15:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela ruang kepala sekolah, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di atas lantai keramik putih. Pak Syaiful, sang kepala sekolah, duduk termenung di kursi kerjanya yang sudah setia menemaninya selama lima tahun menjabat. Matanya menerawang jauh, menatap deretan piala prestasi yang berjajar rapi di lemari kaca, seolah mencari jawaban atas pergulatan batinnya.

Jam dinding tua di sudut ruangan berdetak lambat, seakan ikut merasakan kegelisahan yang menyelimuti ruangan itu. Setiap detiknya berbisik lirih, menyaksikan seorang pemimpin yang sedang bergumul dengan tanggung jawab dan idealisme. Di luar sana, gemerisik dedaunan pohon mahoni tua seolah berbisik menghibur, "Sabarlah, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya."

"Bagaimana bisa saya membangun sekolah yang berkarakter jika fondasi keteladanannya sendiri masih rapuh?" gumam Pak Syaiful pada dirinya sendiri. Tangannya memijat pelipis yang terasa berat oleh beban pikiran. Sudah berkali-kali ia mencontohkan dengan datang paling pagi, memimpin apel dengan penuh semangat, namun masih saja ada beberapa guru yang seolah tak acuh dengan kewajiban apel pagi.

Bayangan Bu Sinta melintas dalam benaknya. Guru matematika yang telah mengabdi selama lima belas tahun itu memang tinggal di ujung kota, hampir dua jam perjalanan dari sekolah. Setiap kali ditegur, ia selalu mengeluhkan biaya kontrakan yang terlalu mahal jika harus pindah lebih dekat ke sekolah. "Gaji saya sudah habis untuk biaya kuliah anak, Pak," begitu kilahnya. Pak Hendra memahami kesulitannya, tapi bukankah guru lain yang tinggal sama jauhnya tetap bisa hadir tepat waktu?

Lalu ada Pak Rahman, guru olahraga yang energik itu, namun sikapnya terhadap apel pagi sungguh bertolak belakang dengan semangat yang ia tunjukkan saat mengajar. Hampir setiap hari ia datang terlambat dengan alasan klasik: macet. Padahal Pak Hendra tahu persis, rekan guru yang melewati rute yang sama bisa datang tepat waktu. "Sekali-sekali saja Pak, toh saya tidak mengajar jam pertama," begitu ia sering berkilah, seolah melupakan esensi keteladanan yang seharusnya ia tunjukkan sebagai seorang pendidik.

Yang tak kalah menggelisahkan adalah sosok Bu Diana, guru bahasa Inggris yang masih relatif muda dan berbakat. Entah apa yang ada dalam pikirannya, seolah-olah ia telah mengkalkulasi dengan tepat untuk selalu tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Tak jarang terlihat mobil merahnya baru memasuki gerbang sekolah ketika siswa-siswi sudah berbaris rapi di lapangan. "Saya kan tidak pernah terlambat mengajar, Pak," begitu pembelaannya, seakan mengabaikan fakta bahwa keteladanan seorang guru tidak hanya diukur dari ketepatan waktu mengajar semata.

Memang hanya tiga dari tiga puluh guru, tapi dampaknya terasa begitu mengganggu keutuhan sistem yang telah dibangun. Seperti sebatang kayu yang lapuk di antara tiang-tiang kokoh, keberadaan mereka mengancam fondasi budaya disiplin yang tengah dibangun di sekolah ini.

Angin sore berhembus masuk, menggerakkan tirai jendela dengan lembut, seperti tangan-tangan tak kasat mata yang berusaha menghapus kepenatan di wajah Pak Syaiful. Berkas-berkas di mejanya bergeser pelan, mengingatkannya pada tumpukan laporan kedisiplinan yang harus ia evaluasi. Setiap lembar kertas itu seolah berbicara, menceritakan kisah perjuangan dan tantangan dalam membangun budaya sekolah yang lebih baik.

Pak Syaiful bangkit dari kursinya, berjalan perlahan menuju jendela. Di bawah sana, lapangan sekolah yang biasanya riuh oleh suara siswa kini sunyi. Hanya ada beberapa guru yang masih duduk di ruang guru, menyelesaikan pekerjaan mereka. Hatinya terenyuh melihat dedikasi sebagian besar stafnya yang luar biasa. "Haruskah ketidakdisiplinan segelintir orang menodai kerja keras mayoritas yang telah berjuang?" batinnya bergejolak.

Ingatan Pak Syaiful melayang pada rapat pagi tadi. Suaranya yang tegas namun bijaksana masih terngiang, "Bapak dan Ibu sekalian, keteladanan bukan sekadar kata-kata. Ia adalah bahasa universal yang lebih mudah ditangkap siswa dibanding seribu nasihat yang kita berikan." Namun entah mengapa, kata-kata itu seolah hanya menjadi angin lalu bagi beberapa rekannya.

Senja semakin turun, mengubah warna langit menjadi semburat jingga keemasan. Cahayanya yang lembut menyentuh wajah lelah Pak Syaiful, seakan memberi kekuatan baru. Ia teringat pesan mendiang ayahnya, seorang guru teladan di masanya, "Memimpin itu seperti menanam pohon. Kau harus sabar menunggu bibit itu tumbuh, tekun merawatnya, dan teguh menjaganya dari hama yang bisa merusak."

Setelah sejam bergulat dengan pikirannya, Pak Syaiful akhirnya mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Kali ini, ia akan mencoba pendekatan baru. Bukan dengan teguran keras atau sanksi tegas, melainkan dengan dialog personal yang lebih humanis. Ia akan mengundang ketiga guru tersebut secara terpisah, mendengarkan keluh kesah mereka, dan bersama-sama mencari solusi yang membangun.

"Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada aturan dan mengabaikan sisi kemanusiaan mereka," pikirnya sambil tersenyum. Matahari yang hampir tenggelam memancarkan sinar terakhirnya, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat, seolah menyetujui keputusan sang kepala sekolah. Ditatapnya sekali lagi lapangan sekolah yang kini diselimuti bayangan senja, dalam hatinya tertanam tekad kuat untuk terus membangun sekolah ini, satu teladan pada satu waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun