Â
Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela ruang kepala sekolah, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di atas lantai keramik putih. Pak Syaiful, sang kepala sekolah, duduk termenung di kursi kerjanya yang sudah setia menemaninya selama lima tahun menjabat. Matanya menerawang jauh, menatap deretan piala prestasi yang berjajar rapi di lemari kaca, seolah mencari jawaban atas pergulatan batinnya.
Jam dinding tua di sudut ruangan berdetak lambat, seakan ikut merasakan kegelisahan yang menyelimuti ruangan itu. Setiap detiknya berbisik lirih, menyaksikan seorang pemimpin yang sedang bergumul dengan tanggung jawab dan idealisme. Di luar sana, gemerisik dedaunan pohon mahoni tua seolah berbisik menghibur, "Sabarlah, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya."
"Bagaimana bisa saya membangun sekolah yang berkarakter jika fondasi keteladanannya sendiri masih rapuh?" gumam Pak Syaiful pada dirinya sendiri. Tangannya memijat pelipis yang terasa berat oleh beban pikiran. Sudah berkali-kali ia mencontohkan dengan datang paling pagi, memimpin apel dengan penuh semangat, namun masih saja ada beberapa guru yang seolah tak acuh dengan kewajiban apel pagi.
Bayangan Bu Sinta melintas dalam benaknya. Guru matematika yang telah mengabdi selama lima belas tahun itu memang tinggal di ujung kota, hampir dua jam perjalanan dari sekolah. Setiap kali ditegur, ia selalu mengeluhkan biaya kontrakan yang terlalu mahal jika harus pindah lebih dekat ke sekolah. "Gaji saya sudah habis untuk biaya kuliah anak, Pak," begitu kilahnya. Pak Hendra memahami kesulitannya, tapi bukankah guru lain yang tinggal sama jauhnya tetap bisa hadir tepat waktu?
Lalu ada Pak Rahman, guru olahraga yang energik itu, namun sikapnya terhadap apel pagi sungguh bertolak belakang dengan semangat yang ia tunjukkan saat mengajar. Hampir setiap hari ia datang terlambat dengan alasan klasik: macet. Padahal Pak Hendra tahu persis, rekan guru yang melewati rute yang sama bisa datang tepat waktu. "Sekali-sekali saja Pak, toh saya tidak mengajar jam pertama," begitu ia sering berkilah, seolah melupakan esensi keteladanan yang seharusnya ia tunjukkan sebagai seorang pendidik.
Yang tak kalah menggelisahkan adalah sosok Bu Diana, guru bahasa Inggris yang masih relatif muda dan berbakat. Entah apa yang ada dalam pikirannya, seolah-olah ia telah mengkalkulasi dengan tepat untuk selalu tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Tak jarang terlihat mobil merahnya baru memasuki gerbang sekolah ketika siswa-siswi sudah berbaris rapi di lapangan. "Saya kan tidak pernah terlambat mengajar, Pak," begitu pembelaannya, seakan mengabaikan fakta bahwa keteladanan seorang guru tidak hanya diukur dari ketepatan waktu mengajar semata.
Memang hanya tiga dari tiga puluh guru, tapi dampaknya terasa begitu mengganggu keutuhan sistem yang telah dibangun. Seperti sebatang kayu yang lapuk di antara tiang-tiang kokoh, keberadaan mereka mengancam fondasi budaya disiplin yang tengah dibangun di sekolah ini.
Angin sore berhembus masuk, menggerakkan tirai jendela dengan lembut, seperti tangan-tangan tak kasat mata yang berusaha menghapus kepenatan di wajah Pak Syaiful. Berkas-berkas di mejanya bergeser pelan, mengingatkannya pada tumpukan laporan kedisiplinan yang harus ia evaluasi. Setiap lembar kertas itu seolah berbicara, menceritakan kisah perjuangan dan tantangan dalam membangun budaya sekolah yang lebih baik.
Pak Syaiful bangkit dari kursinya, berjalan perlahan menuju jendela. Di bawah sana, lapangan sekolah yang biasanya riuh oleh suara siswa kini sunyi. Hanya ada beberapa guru yang masih duduk di ruang guru, menyelesaikan pekerjaan mereka. Hatinya terenyuh melihat dedikasi sebagian besar stafnya yang luar biasa. "Haruskah ketidakdisiplinan segelintir orang menodai kerja keras mayoritas yang telah berjuang?" batinnya bergejolak.