Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Penuntun Rindu

17 November 2024   17:05 Diperbarui: 17 November 2024   17:06 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Canva 

'Ini tidak boleh,' Amira sering menegur dirinya sendiri. 'Dia guruku, dan aku hanya siswi biasa.' Namun hati tidak bisa dibohongi. Setiap kali Pak Hendra tersenyum atau memuji jawabannya yang tepat, kupu-kupu seolah beterbangan dalam perutnya.

"Hari ini kita akan membahas soal-soal persiapan ujian," Pak Hendra memulai pelajaran, suaranya yang dalam mengisi ruangan. "Tapi sebelumnya, saya ingin berbagi sedikit tentang makna pendidikan dalam kehidupan."

Seluruh kelas hening. Bahkan Dina, teman sebangku Amira yang biasanya cerewet, terdiam mendengarkan. Di luar, rintik hujan mulai turun, menciptakan musik alam yang menenangkan.

"Pendidikan bukan sekadar tentang nilai atau gelar," Pak Hendra melanjutkan, matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya bertemu dengan mata Amira. "Pendidikan adalah tentang bagaimana kita tumbuh menjadi manusia yang lebih baik, yang bisa memberi manfaat bagi sesama."

Amira merasakan tengkuknya menghangat. Ia mencatat setiap kata dengan tekun, bukan di bukunya, tapi di hatinya. Pergulatan batin kembali menyerang. Haruskah ia mengubur perasaan ini dalam-dalam? Atau justru ini adalah bagian dari proses pendewasaan diri yang Pak Hendra bicarakan?

"Pak Hendra," akhirnya Amira memberanikan diri mengangkat tangan, suaranya sedikit bergetar. "Apakah itu berarti kita harus selalu belajar seumur hidup?"

Mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu. Seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan dua jiwa saling mengenali satu sama lain dalam keheningan yang bermakna.

"Pertanyaan bagus, Amira." Ada kelembutan khusus dalam cara Pak Hendra menyebut namanya. "Ya, hidup ini adalah proses pembelajaran yang tak pernah berhenti. Bahkan saya pun, masih terus belajar. Dari buku, dari pengalaman, bahkan dari murid-murid saya."

Di sudut hatinya, Pak Hendra juga mengalami pergulatan serupa. Sebagai pendidik, ia sadar betul tentang batas-batas etika yang harus dijaga. Namun ada sesuatu yang berbeda dari siswi cerdas di hadapannya ini -- kedewasaan pikiran yang melampaui usianya, ketulusan yang terpancar dari setiap pertanyaan dan jawaban yang ia berikan.

Sisa 60 menit itu berlalu dengan diskusi mendalam tentang makna belajar dan mengajar. Hujan di luar semakin deras, seolah menjadi saksi bisu tumbuhnya benih-benih cinta yang tak terucapkan.

Kembali ke masa kini...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun