Sinar mentari senja menerobos masuk melalui jendela kaca berukir di ruang kepala dinas pendidikan. Wangi melati dari rangkaian bunga di sudut ruangan bercampur dengan aroma kayu jati tua yang menguar dari lemari arsip. Bu Amira berdiri di depan foto pernikahan yang terpajang anggun dalam bingkai kayu berpelitur. Jemarinya yang lentik menyentuh permukaan kaca bingkai itu dengan lembut, seolah berusaha meraih kembali kenangan yang tersimpan di dalamnya.
Dua puluh lima tahun berlalu begitu cepat, pikir Amira, namun debaran jantungnya masih sama seperti dulu setiap kali memandang foto itu. Matanya menerawang, mengamati sosok dirinya yang lebih muda dalam gaun pengantin putih, berdiri di samping pria tegap dalam balutan jas hitam yang kini menjadi suaminya.
"Masih suka melamun sambil memandangi foto itu, Bu Kepala Sekolah?" Suara berat yang familiar membuyarkan lamunannya. Pak Hendra, sang suami yang kini menjabat sebagai kepala dinas pendidikan, baru saja masuk ke ruangan. Langkahnya yang mantap masih menyiratkan karisma yang dulu membuat banyak siswi terpesona.
Amira tersenyum, semburat merah muda samar menghiasi pipinya. "Bagaimana tidak? Foto ini mengingatkanku pada 60 menit yang mengubah hidup kita, Pak." Suaranya lembut, namun ada getaran halus yang menyiratkan emosi mendalam.
Hendra meletakkan tas kerjanya dan duduk di samping istrinya. Aroma parfum maskulinnya yang khas mengisi ruangan. "Ah, pelajaran terakhir di kelas 3 IPA 1 itu ya?" Senyumnya mengembang, menampilkan kerutan halus di sudut mata yang justru menambah wibawanya.
"Iya. Masih ingat tidak? Waktu itu..."
25 tahun yang lalu...
Langit sore berwarna kelabu ketika bel berbunyi menandakan jam pelajaran terakhir. Suara gemuruh guntur samar terdengar dari kejauhan, menciptakan atmosfer yang entah mengapa terasa magis. Amira yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMA menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang selalu berdetak lebih kencang setiap Selasa sore.
Pelajaran Kimia dengan Pak Hendra selalu menjadi yang paling ditunggu-tunggu, sekaligus yang paling menegangkan baginya. Bukan karena materinya yang sulit -- Amira selalu unggul dalam pelajaran eksak -- tapi karena pergulatan batin yang ia rasakan setiap kali bertatap muka dengan guru muda itu.
Di usia 28 tahun, Pak Hendra bukan hanya sekadar guru tampan yang menjadi idola. Bagi Amira, ada sesuatu yang lebih dalam dari sorot matanya yang teduh, dari cara ia menjelaskan reaksi kimia seolah sedang menceritakan kisah cinta antara molekul-molekul. Ada kebijaksanaan dan kedewasaan yang membuatnya berbeda.