Sinar matahari siang menembus kaca jendela yang berdebu di ruang guru. Bu Ami menghela napas panjang sembari memandangi amplop cokelat di tangannya. Jemarinya yang letih setelah mengajar sejak pagi bergetar pelan, seolah turut merasakan beratnya keputusan yang tertuang dalam surat pengunduran diri itu. Tiga tahun mengabdi di sekolah terpencil di pelosok ini telah mengukir begitu banyak kenangan - manis dan pahit bercampur menjadi satu.
Matanya menerawang ke luar jendela, memandang deretan bukit hijau yang mengelilingi sekolah. Dulu, pemandangan ini selalu memberinya ketenangan. Namun kini, setiap kali memandangnya, yang terlintas adalah betapa jauhnya ia dari kehidupan yang lebih layak, dari fasilitas yang memadai, dari masa depan yang lebih cerah untuk anak-anaknya.
Ruang guru siang itu terasa lebih pengap dari biasanya. Kipas angin tua di sudut ruangan berderit keras, seolah memprotes beban tugasnya mendinginkan ruangan yang semakin memanas. Hanya ada Pak Hendri yang sedang memeriksa tumpukan buku tugas siswa dan Bu Siti yang sibuk menyusun rencana pembelajaran. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, mungkin juga bergulat dengan dilema yang sama.
"Bu Ami, sudah siap untuk rapat evaluasi nanti?" tanya Bu Siti, mencoba mencairkan suasana. Nadanya lembut, tapi Bu Ami bisa menangkap kekhawatiran dalam suaranya. Sebagai sesama guru yang telah mengabdi lebih dari lima tahun di sekolah ini, Bu Siti paham betul pergulatan batin yang dialami rekannya.
Bu Ami tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Sudah, Bu. Tapi... ada yang perlu saya sampaikan ke Pak Kepala Sekolah sebelumnya." Suaranya terdengar parau, menahan emosi yang bergejolak.
Pak Hendri mengalihkan pandangannya dari tumpukan buku. Kacamatanya yang berembun menambah kesan lelah di wajahnya. Ia tahu persis apa yang akan disampaikan rekannya itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hidup di daerah terpencil dengan gaji yang pas-pasan bukanlah hal yang mudah. Setiap bulan adalah pertarungan dengan biaya hidup yang terus meningkat, sementara tunjangan khusus yang dijanjikan tak kunjung memadai.
Jarum jam berdetak lambat menuju pukul dua siang. Setiap detiknya terasa seperti menghitung mundur menuju sebuah perpisahan yang tak terelakkan. Bu Ami bangkit dari kursinya, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. Langkahnya berat menuju ruang kepala sekolah, setiap tapaknya menyimpan keraguan dan penyesalan.
"Permisi, Pak Bambang." Suaranya bergetar ketika mengetuk pintu.
"Silakan masuk, Bu Ami. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Bambang, dengan rambutnya yang mulai memutih, menyambut dengan senyum kebapakan yang selalu menjadi ciri khasnya.
Ruang kepala sekolah itu sederhana namun tertata rapi. Sebuah kipas angin kecil mendengung pelan, berjuang melawan hawa panas yang menerobos masuk. Di dinding, deretan foto-foto kenangan dan piagam penghargaan berjajar rapi, menjadi saksi bisu perjalanan sekolah ini dalam mencerdaskan anak-anak di pelosok negeri.