Di tengah hembusan kuat wacana perubahan kurikulum yang digaungkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti, Balai Guru Penggerak (BGP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap menunjukkan konsistensinya. Lembaga ini teguh melaksanakan program advokasi implementasi Kurikulum Merdeka yang telah direncanakan pada November 2024. Langkah ini menarik untuk dicermati mengingat timing pelaksanaannya yang bertepatan dengan munculnya berbagai respon dari kalangan pendidik yang menginginkan perubahan kurikulum.
Meski terkesan kontradiktif dengan aspirasi sebagian besar guru yang menghendaki pergantian Kurikulum Merdeka, keputusan BGP Babel untuk tetap menjalankan program advokasi ini sesungguhnya mencerminkan sikap profesional dalam tata kelola pendidikan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa selama belum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat terkait perubahan kurikulum, maka Kurikulum Merdeka tetap menjadi panduan resmi yang harus diimplementasikan di seluruh satuan pendidikan.
Program advokasi yang diinisiasi BGP ini sejatinya merupakan upaya strategis untuk memperkuat kompetensi para stakeholder pendidikan, mulai dari guru, kepala sekolah, hingga pengawas sekolah. Hal ini menjadi krusial mengingat keberhasilan implementasi kurikulum sangat bergantung pada pemahaman dan kesiapan para pelaksana di lapangan. Terlebih lagi, Kurikulum Merdeka membawa perubahan paradigma yang cukup signifikan dalam proses pembelajaran.
Tujuan advokasi yang diusung tidak sekadar memberikan pemahaman teknis tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga membangun ekosistem pendukung yang solid. Penguatan peran mitra pembangunan dalam pendampingan satuan pendidikan menjadi salah satu fokus utama. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kurikulum bukanlah tanggung jawab sepihak, melainkan membutuhkan kolaborasi dari berbagai elemen.
Sinergi antara Kemendikdasmen, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan menjadi kunci penting dalam mewujudkan implementasi Kurikulum Merdeka yang berkualitas. Model pendekatan kolaboratif ini mencerminkan pemahaman bahwa transformasi pendidikan memerlukan dukungan sistem yang terintegrasi, bukan sekadar perubahan dokumen kurikulum semata.
Langkah BGP Babel ini juga dapat dipandang sebagai bentuk advokasi yang tepat sasaran. Sebagai sebuah tindakan untuk membela, memperjuangkan, dan memengaruhi kebijakan, program advokasi ini memberikan ruang bagi para pendidik untuk memahami dan mengadaptasi perubahan secara lebih bermakna. Hal ini penting mengingat setiap perubahan kebijakan pendidikan seharusnya bertujuan untuk menciptakan kondisi yang lebih ideal, bukan sebaliknya menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di lapangan.
Meskipun timing pelaksanaan program ini bisa dianggap kurang tepat oleh sebagian kalangan, namun justru di sinilah letak strategisnya. Di tengah ketidakpastian dan wacana perubahan, para pendidik tetap memerlukan penguatan kapasitas untuk menjalankan kurikulum yang masih berlaku secara resmi. Hal ini mencerminkan prinsip profesionalisme dalam dunia pendidikan, di mana kualitas pembelajaran harus tetap terjaga terlepas dari dinamika kebijakan yang sedang berlangsung.
Inisiatif BGP Babel ini memberikan pembelajaran berharga bahwa dalam dunia pendidikan, konsistensi dan profesionalisme harus tetap dijaga meski berada dalam situasi yang tidak pasti. Program advokasi yang dilaksanakan bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab institusi pendidikan dalam memastikan kualitas pembelajaran tetap terjaga melalui penguatan kapasitas para pelaku pendidikan di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H