Penyeragaman pakaian dinas antara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah memunculkan beragam reaksi di kalangan PPPK.Â
Kebijakan yang bertujuan menyetarakan penampilan ini ternyata membawa dampak yang lebih kompleks dari sekadar perubahan seragam.Â
Di balik kegembiraan sebagian PPPK, tersembunyi juga kekhawatiran dan bahkan sikap apatis yang menggambarkan realitas yang lebih dalam tentang status dan kondisi kerja mereka.
Bagi sebagian PPPK, penyeragaman ini disambut dengan antusiasme. Mereka merasa lega karena tidak perlu lagi khawatir dituduh "menyamar" sebagai PNS.Â
Kesamaan seragam ini seolah menjadi pengakuan resmi atas keberadaan dan peran mereka yang setara dalam lingkungan kerja pemerintahan.Â
Senin dan Selasa, hari-hari yang biasanya menjadi penanda status kepegawaian melalui seragam, kini tidak lagi menjadi momok. PPPK bisa melangkah dengan percaya diri, merasa diterima sepenuhnya sebagai bagian integral dari sistem birokrasi.
Namun, di balik senyum lega itu, tersimpan ironi yang getir. Kesetaraan dalam berpakaian ternyata tidak serta-merta mencerminkan kesetaraan dalam hal kesejahteraan dan status kepegawaian.Â
PPPK, meskipun kini berpenampilan sama, masih harus menghadapi realitas kontrak kerja yang berbeda, jenjang karir yang terbatas, dan ketidakpastian masa depan yang jauh berbeda dengan rekan-rekan PNS mereka.
Seragam yang sama mungkin memberikan rasa bangga sesaat, tetapi tidak mengubah fakta bahwa mereka masih dipandang sebagai "pegawai kelas dua" dalam hierarki kepegawaian negara.
Lebih lanjut, beban finansial untuk membeli seragam baru menambah kompleksitas situasi ini. Bagi banyak PPPK, pengeluaran tambahan untuk seragam bukan hal sepele.Â