Dalam kehidupan yang sarat dengan keragaman pemikiran dan keyakinan, mengemban misi menyampaikan kebenaran merupakan tanggung jawab mulia yang menuntut kearifan dan kebijaksanaan. Ayat suci Al-Qur'an dalam QS. An-Nahl/16:125 memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai cara terbaik untuk menyeru manusia kepada jalan kebenaran, yaitu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan cara yang sebaik-baiknya.
Pertama, hikmah mengandung makna kedalaman ilmu dan kearifan dalam menyampaikan sesuatu. Hikmah menuntut kita untuk memahami konteks dan kondisi audiens yang kita hadapi, sehingga pesan kebenaran dapat disampaikan dengan cara yang tepat dan mudah diterima. Dengan demikian, hikmah menuntun kita untuk menghindari sikap emosional, reaktif, atau provokatif yang justru dapat memancing penolakan dan menjauhkan manusia dari kebenaran.
Kedua, pelajaran yang baik mengisyaratkan pentingnya menyampaikan kebenaran dengan cara yang mencerahkan, membangun, dan membuka wawasan baru bagi audiens. Kita dituntut untuk menyajikan argumen yang logis, bukti-bukti yang kuat, dan contoh-contoh yang relevan agar kebenaran yang kita sampaikan dapat diterima akal sehat dan membuka cakrawala berpikir yang lebih luas.
Ketiga, membantah dengan cara yang baik menunjukkan bahwa dalam menyampaikan kebenaran, kita harus tetap menjaga adab dan etika. Membantah dengan cara yang baik berarti menghindari cercaan, hinaan, atau tindakan yang dapat menyakiti hati dan merendahkan martabat manusia. Kita harus mengutamakan dialog yang santun, penuh kasih sayang, dan menghargai perbedaan pendapat.
Dengan menerapkan tiga prinsip ini, kita dapat menyampaikan kebenaran dengan cara yang lebih efektif dan mencerminkan akhlak mulia yang diajarkan oleh agama kita. Sebaliknya, jika kita mengabaikan prinsip-prinsip ini, maka upaya kita menyampaikan kebenaran justru dapat memicu konflik, perpecahan, dan semakin menjauhkan manusia dari jalan yang benar.
Salah satu contoh konkret dari penerapan hikmah, pelajaran baik, dan cara yang baik dalam menyampaikan kebenaran dapat kita lihat dari kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau dikenal sebagai seorang pendakwah yang lembut, sabar, dan bijaksana dalam menghadapi tantangan dan penolakan. Beliau senantiasa mengajak umat manusia dengan cara yang penuh kasih sayang, menghindari kekerasan, dan menawarkan solusi yang masuk akal.
Dalam sejarah Islam, kita juga dapat melihat bagaimana para ulama dan pemikir muslim terkemuka menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang cerdas, ilmiah, dan menghargai warisan keilmuan dari peradaban lain. Mereka tidak pernah memaksakan kebenaran dengan kekerasan, tetapi justru mengajak manusia untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan menerima kebenaran dengan hati yang lapang.
Di era modern ini, prinsip-prinsip hikmah, pelajaran baik, dan cara yang baik dalam menyampaikan kebenaran menjadi semakin relevan dan penting. Kita hidup di dunia yang semakin terhubung dan beragam, di mana informasi dan pemikiran dapat menyebar dengan cepat melalui berbagai media. Dalam situasi seperti ini, kita dituntut untuk menjadi pembawa kebenaran yang bijak, cerdas, dan penuh kasih sayang.
Dengan menerapkan hikmah, kita dapat memahami konteks budaya, sosial, dan psikologis audiens kita, sehingga pesan kebenaran dapat disampaikan dengan cara yang lebih mudah diterima. Dengan pelajaran yang baik, kita dapat mencerahkan pikiran manusia dengan argumen yang logis, bukti-bukti ilmiah, dan contoh-contoh nyata yang membuka wawasan baru. Dengan membantah secara baik, kita dapat menjaga hubungan yang harmonis, menghindari perpecahan, dan menciptakan dialog yang konstruktif.
Pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan dalam ayat suci, hanya Tuhan yang paling mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Tugas kita sebagai manusia adalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang terbaik, yaitu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, kita telah menjalankan tanggung jawab mulia kita sebagai pembawa cahaya kebenaran bagi seluruh umat manusia.