"Menghindari riba dan bersabar ketika menghadapi kesulitan ekonomi, itulah jalan untuk meraih keridhaan Ilahi."
Di tengah naiknya harga-harga bahan pokok di bulan Ramadhan, banyak dari kita mungkin merasa tersudut secara finansial. Kebutuhan meningkat tapi penghasilan tetap. Tak jarang, ada pihak-pihak tertentu yang mencoba merayu untuk mengambil jalan pintas melalui pinjaman daring dengan bunga tinggi atau biasa disebut riba. Namun, perlu diingat bahwa Allah dengan tegas melaknat praktik riba dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad. Sebagai seorang Muslim, kita harus berhati-hati dan menjaga iman agar tidak terjerumus ke dalam dosa besar ini.
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 275:Â
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Dalam ayat ini, Allah membuat perbandingan yang cukup mengerikan antara orang yang memakan riba dengan orang kerasukan setan. Hal ini menunjukkan betapa buruk dan berdosanya perbuatan riba di mata Allah. Riba secara bahasa artinya "tambahan", sedangkan maknanya adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ini sangat berbeda dengan jual beli yang didasarkan atas asas kerelaan dan keadilan antara penjual dan pembeli. Â
Nabi Muhammad juga menegaskan keharaman riba dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu'anhu:
"Allah melaknat pemakan riba, pemberinya, pencatatnya, dan kedua saksinya. Mereka semua sama (dosanya)." (HR Muslim, at-Tirmidzi, Musnad Ahmad)
Laknat atau kutukan dari Allah merupakan hukuman yang sangat berat. Ini membuktikan bahwa riba adalah dosa besar yang harus dihindari oleh setiap Muslim. Dalam riwayat lain, Nabi bahkan menyamakan riba dengan berzina tujuh puluh kali. Tentu kita tidak ingin dilaknat oleh Allah dan mendapatkan siksaan di akhirat kelak hanya demi mendapatkan keuntungan finansial sesaat.
Jika kita mengkaji sejarah, praktik riba sebenarnya telah ada sejak zaman jahiliah sebelum Islam datang. Pada zaman itu, masyarakat Arab melakukan riba dengan cara menggandakan hutang seseorang jika tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan. Akibatnya, sang penghutang akan semakin terjerat dalam lilitan hutang yang terus bertambah. Praktik ini tentu saja sangat merugikan dan tidak adil bagi pihak penghutang.