Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merangkul Guru dan Siswa Lewat Kurikulum Manusiawi

5 Maret 2024   00:01 Diperbarui: 5 Maret 2024   00:09 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi via image creator Canva 

"Pendidikan bukanlah pengisian wadah, tetapi penyaluran obor kehidupan."

Saya sangat sepakat dengan opini Samsu Rizal Profesor dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Anggota Majelis Pendidikan Aceh yang disampaikan dalam tulisannya di kompas.id pada hari Senin 4 Maret 2024 dengan judul "Kurikulum Kompleks, Pendidikan Terlambat". Dalam tulisannya, Bapak Samsu mengkritisi kompleksitas kurikulum pendidikan saat ini yang justru membebani proses pembelajaran. 

Sebagai seorang pendidik, saya melihat bahwa kurikulum yang terlalu padat dan rumit seringkali kontraproduktif bagi tujuan pendidikan itu sendiri. Guru harus bergulat dengan tuntutan kurikulum yang terus berubah tanpa persiapan memadai. Mereka dituntut menguasai materi baru dalam waktu singkat dan langsung mengajarkannya pada siswa. Akibatnya, baik guru maupun siswa sulit mencerna materi pelajaran secara mendalam. Pendidikan pun bergeser dari proses pemahaman menjadi kejar target kurikulum semata. 

Ironisnya, kurikulum yang padat justru sering dianggap sebagai pencerminan mutu dan standar pendidikan yang tinggi. Padahal sesungguhnya, kurikulum ideal adalah yang memberi cukup ruang dan waktu bagi penguasaan materi secara mendalam. Daripada termakan wacana kurikulum 'berstandar internasional' yang padat, kita perlu kembali pada prinsip bahwa tujuan pendidikan adalah pemahaman, bukan kuantitas materi. 

Terlebih di era digital saat ini, pengetahuan tidak lagi langka dan terbatas. Siswa dapat mengakses pengetahuan dari berbagai sumber secara luas, tidak hanya dari guru dan buku teks semata. Oleh karena itu pendidikan perlu diarahkan pada pembentukan kemampuan berpikir kritis, bukan menjejalkan materi sebanyak-banyaknya yang pada akhirnya terlupakan.

Sebagaimana Bapak Samsu sampaikan, saya setuju bahwa perubahan kurikulum ke depan semestinya bertujuan untuk menyederhanakan proses pembelajaran, bukan semakin mempersulitnya. Kurikulum yang baik seharusnya memberi keleluasaan bagi guru untuk benar-benar memahami materi, merancang pembelajaran secara matang, dan menyampaikannya kepada siswa secara efektif. Dengan begitu, guru dapat mengajar dengan penuh pemahaman dan antusiasme, sehingga siswa pun termotivasi untuk belajar.

Selain itu, guru juga memerlukan waktu untuk refleksi dan evaluasi agar dapat terus meningkatkan kualitas pembelajaran. Perubahan kurikulum yang terlalu cepat dan radikal sesungguhnya justru menghambat upaya peningkatan kualitas ini. Guru perlu diberi waktu adaptasi yang cukup saat terjadi perubahan kurikulum. Mereka juga perlu dilibatkan dalam perumusan kurikulum agar perubahan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.

Sayangnya, selama ini guru seringkali menjadi obyek perubahan kurikulum, bukan dilibatkan sebagai subjek penting dalam prosesnya. Akibatnya banyak kebijakan kurikulum yang terasa memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan kesiapan dan masukan guru sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Kondisi ini tentu harus diubah demi menghasilkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi riil dan kebutuhan guru serta siswa.

Lebih jauh, saya sependapat dengan Bapak Samsu bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya adalah menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan bagi guru dan siswa. Kurikulum yang terlalu berat justru membuat sekolah seperti beban, bukan tempat belajar dan berkembang. Siswa sulit menikmati proses pendidikan jika disibukkan dengan tuntutan target kurikulum yang padat. Mereka perlu diberi ruang untuk mengeksplorasi minat dan bakat, bukan dipaksa menghafal materi demi ujian.

Cara pandang bahwa belajar itu proses menyenangkan, bukan beban, sejatinya sudah tertanam dalam filosofi pendidikan ki Hajar Dewantara. Beliau menekankan asas 'tut wuri handayani' yang menempatkan pendidik sebagai motivator dan fasilitator, bukan sekadar penjejalan materi. Sayangnya, semangat ini kian pudar digantikan paradigma pendidikan kuantitas dan target orientasi. Sudah saatnya kita kembali merujuk pada visi pendidikan yang humanis dan menyenangkan ini.

Kurikulum idealnya memberdayakan guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang menarik dan interaktif. Siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pendidikan melalui diskusi, praktik, maupun produk kreatif. Cara ini jauh lebih efektif membangun pemahaman dan kecintaan siswa pada ilmu daripada sekadar menuntut hafalan materi. Kesuksesan pendidikan tidak diukur dari banyaknya materi yang disampaikan, melainkan dari kebermaknaan proses pembelajaran bagi siswa.

Poin penting lain dari Bapak Samsu adalah bahwa kurikulum seharusnya memperkuat peran keluarga dalam pendidikan. Orang tua adalah mitra sekolah dan guru dalam membimbing pertumbuhan dan perkembangan siswa. Sayangnya, kurikulum yang terlalu berat dan akademis seringkali membuat orang tua merasa terbebani, bukan dilibatkan.

Perubahan kurikulum ke depan harus mempertimbangkan cara melibatkan orang tua dan keluarga agar turut bertanggung jawab atas pendidikan anak. Misalnya, memberikan kegiatan yang dapat dilakukan bersama keluarga atau diskusi rutin guru dan orang tua soal perkembangan siswa. Cara ini akan memperkuat dukungan orang tua sekaligus ikatan keluarga dan kepedulian terhadap pendidikan. 

Keterlibatan orang tua tidak hanya penting bagi perkembangan akademik siswa, tapi juga pembentukan karakter dan kepribadian mereka. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi internalisasi nilai, etika, dan kecerdasan emosi anak. Oleh karena itu, kerja sama keluarga dan sekolah mutlak diperlukan agar pendidikan benar-benar membentuk generasi yang utuh, bukan sekadar pintar secara intelektual belaka.  

Terakhir, saya sepakat bahwa kurikulum semestinya mendukung perkembangan holistik atau menyeluruh siswa, bukan hanya fokus pada aspek akademis semata. Siswa perlu dibimbing untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, kurikulum perlu memberi porsi pelajaran seni, olahraga, keterampilan sosial, dan pengembangan diri, disamping mata pelajaran akademis.

Dengan pendidikan yang utuh dan seimbang, siswa dapat mengembangkan seluruh potensinya secara optimal. Mereka kelak dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas dalam bidang akademis tertentu, namun juga memiliki kepekaan sosial, apresiasi seni, kesadaran spiritual, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan bermasyarakat. Itulah pendidikan sejati yang melahirkan generasi masa depan berkualitas tinggi.

Demikian opini saya sependapat dengan gagasan Bapak Samsu Rizal tentang perubahan kurikulum pendidikan. Intinya, kurikulum harus diperbaiki untuk memberdayakan guru, membuat pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa, melibatkan orang tua dan keluarga, serta mendukung perkembangan holistik peserta didik. Dengan kurikulum yang tepat, masa depan pendidikan Indonesia akan jauh lebih cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun