Keempat, mendegradasi citra profesi guru. Jika profesi guru semakin tergantung pada teknologi, citra guru sebagai pendidik yang kompeten dan berwibawa bisa tergerus. Guru dipandang sekadar operator aplikasi alih-alih profesional yang dipercaya mendidik generasi penerus bangsa.
Kelima, berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Data guru dan siswa yang terkumpul dalam sistem digital berisiko disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau politik. Privasi guru dan siswa menjadi taruhan.
Memperbudak guru pada teknologi jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Guru adalah manusia yang harus dihormati, bukan diperas untuk menghasilkan data demi kepentingan sistem.
Solusinya, pemerintah perlu mengevaluasi implementasi teknologi digital dalam pendidikan. Prinsip utamanya adalah teknologi sebagai alat untuk memberdayakan guru, bukan sebaliknya.
Guru harus diberi pelatihan dan dukungan, bukan tekanan. Data yang dikumpulkan juga harus benar-benar dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, bukan untuk kepentingan lain.
Dengan demikian, teknologi digital dapat menjadi mitra guru dalam menjalankan tugas mulia mencerdaskan anak bangsa.
Kita bisa memetik manfaat teknologi tanpa harus mengorbankan harkat guru sebagai manusia.Â
Kualitas pendidikan pun akan meningkat, karena dibangun atas kerja sama yang saling menguatkan antara guru dan teknologi.
Namun demikian, transformasi digital di bidang pendidikan tentu tidak semudah membalik telapak tangan.Â