"Menghormati perbedaan adalah kunci perdamaian."
Setiap kali pesta demokrasi digelar di Indonesia, baik itu Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Gubernur (Pilgub), bahkan hingga Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), tidak jarang menyisakan luka dan perpecahan di tengah masyarakat. Elite politik terbelah menjadi kubu. Rakyat yang semula bertetangga dengan rukun, tiba-tiba saling membenci hanya karena beda pilihan politik. Fanatisme berlebihan terhadap tokoh ataupun partai politik tertentu kerap memicu perselisihan dan permusuhan sesama warga.Â
Fenomena ini tentu sangat disayangkan. Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaiknya, justru menjadikan hubungan dan kerukunan antar warga menjadi retak. Padahal, Indonesia adalah negara majemuk dengan keragaman suku, agama, ras, dan golongan. Perbedaan politik adalah hal yang wajar dan seharusnya ditoleransi, bukannya diperuncing hingga saling benci dan bermusuhan.
Lalu, apa yang salah sebenarnya dalam cara kita berdemokrasi? Menurut saya, ada dua faktor utama yang menyebabkan hal ini.Â
Pertama, kurangnya pendidikan politik sejak dini. Sebagian besar masyarakat belum memahami etika dan tata cara berdemokrasi yang baik dan benar. Mereka cenderung mudah terbawa emosi dan terprovokasi isu-isu sensitif seperti SARA demi kepentingan politik tertentu. Pemahaman mengenai demokrasi, hak pilih, kampanye politik, dan lainnya masih minim.Â
Akibatnya, masyarakat mudah terseret arus fanatisme buta dan mengagung-agungkan figur atau partai tertentu tanpa kritik yang rasional. Ketika figur yang mereka dukung kalah dalam pesta demokrasi, mereka sulit menerima dan menganggap pesta demokrasi gagal. Padahal, menang-kalah adalah hal wajar dalam setiap kompetisi politik di negara demokrasi.
Kedua, budaya politik di Indonesia yang masih bersifat confrontatif (berhadap-hadapan) dan belum mengedepankan etika. Kampanye politik seringkali menggunakan cara-cara hitam dengan menjatuhkan lawan politik, bukan menawarkan visi dan program kerja yang lebih baik. Elite politik masih memanfaatkan sentimen SARA, hoaks, ujaran kebencian, dan isu-isu provokatif lain demi meraih suara. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan etika dan mengancam kerukunan sosial.
Dampaknya tentu sangat merugikan. Hubungan antar kelompok masyarakat menjadi retak. Demokrasi yang seharusnya memuliakan perbedaan dan persaingan sehat, justru menjadi ajang saling menjatuhkan. Figur politik tertentu dianggap "haram" dan pendukungnya layak dihukum. Padahal semua warga negara memiliki hak suara yang setara dalam berdemokrasi. Stigma seperti ini sangat berbahaya dan berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi itu sendiri.
Nah, untuk mengatasi berbagai persoalan ini, menurut saya setidaknya ada tiga langkah strategis yang bisa dilakukan: