"Jalan yang mudah jarang membawa ke tujuan yang berharga."
Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) diperkenalkan pada tahun 2021 sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). ANBK diharapkan dapat menjadi asesmen yang lebih adil dan tidak membebani siswa. Berbeda dengan UN yang bersifat high stake testing, ANBK diposisikan sebagai low stake testing tanpa persiapan khusus. Peserta ANBK juga dipilih secara acak agar representatif mewakili populasi siswa di Indonesia.Â
Namun setelah satu tahun pelaksanaan, harapan mulia di balik ANBK nyatanya belum terwujud. ANBK justru tetap menjadi high stake testing bagi berbagai pihak. Skor ANBK dianggap merefleksikan kualitas guru, kepala sekolah, sekolah, bahkan kinerja pemerintah daerah. Makin tinggi skor ANBK, makin baik penilaian terhadap kinerja tersebut.Â
Terlebih, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan insentif Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kinerja bagi satuan pendidikan dengan skor ANBK yang meningkat. Tentu saja, iming-iming tambahan dana menjadi pemicu berbagai upaya manipulasi agar skor ANBK bisa optimal.Â
Dengan berbagai tekanan dan iming-iming insentif, sekolah pun mulai mengatur strategi agar skor ANBK bisa maksimal. Tidak jarang ada kesepakatan-kesepakatan tertentu agar siswa bisa mengerjakan ANBK dalam kondisi prima, misalnya dengan mengatur formasi tempat duduk yang memudahkan siswa bekerja sama. Setelah berjalan satu tahun, sekolah semakin paham cara-cara untuk ‘mengakali’ ANBK.
Akibatnya, skor ANBK yang dihasilkan banyak yang sudah tidak mencerminkan kemampuan riil siswa maupun mutu sekolah secara utuh. Skor tinggi belum tentu merefleksikan proses pembelajaran berkualitas di sekolah. Sebaliknya, skor rendah belum tentu mencerminkan ketidakmampuan siswa atau rendahnya mutu guru dan sekolah.
Jika hal ini dibiarkan, maka ANBK akan kehilangan makna dan tujuan mulianya. Harapan ANBK sebagai instrumen pemetaan mutu pendidikan yang valid akan semakin jauh dari kenyataan. Padahal, hasil ANBK berpotensi dimanfaatkan untuk berbagai kebijakan strategis terkait peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Untuk itu, perlu dilakukan kajian mendalam terkait implementasi ANBK saat ini beserta berbagai kendala dan tantangannya. Kemendikbud perlu meninjau ulang mekanisme ANBK, terutama terkait seleksi peserta, pemberian insentif BOS Kinerja, serta pemanfaatan hasil ANBK.Â
Insentif BOS Kinerja perlu dihapus agar sekolah tidak terdistorsi dalam upaya peningkatan skor ANBK. Pemberian insentif berdasarkan skor ANBK telah mendorong berbagai upaya manipulasi oleh sekolah demi memaksimalkan skor. Padahal, skor tinggi belum tentu mencerminkan proses pembelajaran dan mutu sekolah secara utuh. Dengan menghapus insentif BOS Kinerja, diharapkan sekolah dapat fokus pada upaya peningkatan mutu secara menyeluruh, bukan hanya berorientasi pada skor ujian semata.