Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mahkamah Konstitusi dan Gebrakan Pendidikan Inklusif di Indonesia

27 Juni 2023   05:35 Diperbarui: 27 Juni 2023   06:16 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pendidikan adalah investasi terbaik yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita, karena mereka adalah harapan dan masa depan bangsa."

Dalam sejarahnya yang sudah berlangsung selama dua dekade, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) telah memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Dalam banyak keputusannya, MK telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam sektor pendidikan.

Salah satu putusan MK yang sangat berpengaruh adalah pembatalan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas melalui Putusan Nomor 5/PUU-X/2012. Pembatalan pasal ini, yang menyebutkan tentang pengembangan satuan pendidikan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, telah mendapat sambutan hangat dari publik. Keputusan ini mencerminkan semangat untuk membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif, menghormati akar budaya, dan memperkuat identitas bangsa.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, MKRI menjelaskan bahwa pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dianggap dapat menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Meskipun RSBI adalah sekolah nasional yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju, Mahkamah berpendapat bahwa bahasa asing yang menonjol dalam RSBI dapat mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia.

Pendapat Mahkamah tersebut tidak menafikan pentingnya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, bagi peserta didik agar memiliki daya saing dan kemampuan global. Namun, MKRI berpendapat bahwa istilah "berstandar internasional" dalam Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas, yang menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam setiap jenjang dan satuan pendidikan, dapat mengakibatkan pendidikan nasional kehilangan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia. Menurut MKRI, output pendidikan yang diharapkan adalah siswa-siswa yang memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan berbahasa asing, namun tidak perlu diberi label "berstandar internasional".

Selain itu, MKRI juga mengkritisi adanya perbedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI. Perlakuan berbeda dalam hal sarana, prasarana, pembiayaan, dan output pendidikan antara kedua jenis sekolah tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip konstitusi yang mewajibkan perlakuan yang sama bagi semua sekolah dan peserta didik, terutama bagi sekolah milik pemerintah. Pembedaan tersebut dapat mengakibatkan hanya sekolah yang berstatus SBI/RSBI yang menikmati kualitas pendidikan yang lebih baik, sementara sekolah non-SBI/RSBI terbatas dalam kesempatan tersebut.

MKRI menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin akses pendidikan yang adil dan merata bagi semua warga negara Indonesia tanpa pembedaan perlakuan. Pendidikan yang inklusif harus mempertimbangkan keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara dan menghilangkan ketidaksetaraan yang ada. MKRI juga mengkritisi komersialisasi sektor pendidikan yang dapat terjadi akibat adanya perbedaan tersebut. Pendidikan berkualitas seharusnya bukan menjadi barang mahal yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu secara ekonomi, melainkan menjadi tanggung jawab negara untuk disediakan kepada semua warga negara.

Putusan tersebut menandai langkah maju dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif, menghormati budaya, dan merata di Indonesia. Pembatalan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengarahkan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik. Putusan ini memungkinkan pendidikan nasional tetap berfokus pada keberagaman budaya dan kekayaan lokal, sambil mempersiapkan peserta didik untuk bersaing secara global.

Dalam perjalanan selanjutnya, kita harus meneruskan komitmen untuk mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia. Pemerintah harus terus berupaya memperbaiki kualitas pendidikan, meningkatkan aksesibilitas, dan menghilangkan pembedaan dalam sistem pendidikan. Kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu terus ditingkatkan untuk mencapai visi bersama tentang pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun