"Agama bukanlah alat untuk memperkuat kepentingan politik atau untuk mempertegas perbedaan antara golongan yang satu dengan yang lain, tetapi sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan harmonis"
Kartini adalah sosok yang sangat dihormati dan dihargai di Indonesia, terutama dalam hal perjuangannya untuk emansipasi wanita. Dalam sejarah Indonesia, ia dikenal sebagai seorang pahlawan nasional dan tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kebebasan dalam berpikir dan bertindak.
Selain itu, Kartini juga dikenal sebagai sosok yang taat agama, terutama dalam ajaran Islam. Meskipun ia hidup pada masa penjajahan Belanda, Kartini mampu mempelajari ajaran-ajaran Islam dengan baik dan menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan surat Kartini yang menunjukkan bahwa ia sangat menghargai dan mencintai agamanya.
Menurut pandangan saya, Kartini adalah contoh nyata bagaimana seorang perempuan dapat menjadi seorang pahlawan yang memperjuangkan hak-haknya tanpa mengorbankan agamanya. Ia mampu memadukan antara agama dan modernitas, sehingga tidak terjebak dalam konflik antara nilai-nilai tradisional dan kemajuan zaman.
Dalam hal ini, Kartini memperlihatkan bahwa ajaran-ajaran Islam bukanlah suatu halangan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Sebaliknya, ajaran-ajaran Islam dapat menjadi landasan moral dan etika dalam memperjuangkan hak-hak tersebut. Misalnya, ajaran tentang keadilan dan kesetaraan yang terdapat dalam Islam dapat dijadikan sebagai landasan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 25 Maret 1904, Kartini menuliskan bahwa kita harus berbuat baik terhadap semua orang, termasuk orang yang berbeda agama dengan kita. Hal ini menunjukkan bahwa Kartini memahami bahwa Islam mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat diterapkan oleh semua orang, tanpa terkecuali.
Selain itu, Kartini juga memperlihatkan bahwa Islam bukanlah agama yang membatasi perempuan dalam menjalani kehidupannya. Meskipun ia hidup pada masa yang konservatif, Kartini tetap berani memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dapat diinterpretasikan dengan cara yang positif dan progresif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dalam suratnya kepada ibunya pada 1 Januari 1899, Kartini menuliskan bahwa ia merasa bahagia dan tenang ketika memperdalam pemahaman tentang agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa agama bagi Kartini bukanlah sekadar formalitas atau tradisi kosong, tetapi menjadi sesuatu yang mendalam dan bermakna dalam hidupnya.
Dalam konteks Indonesia saat ini, di mana agama seringkali menjadi alat politik untuk kepentingan tertentu, pandangan dan sikap Kartini dapat menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia untuk memandang agama sebagai sumber inspirasi dan pedoman dalam hidup, bukan sebagai alat untuk memperkuat kepentingan politik atau mempertegas perbedaan antara golongan yang satu dengan yang lain.