"Kita boleh berbeda dalam pemikiran, tetapi harus tetap bersatu dalam aksi untuk kebaikan umat." - KH. Abdurrahman Wahid
Perbedaan pendapat dalam menentukan awal Syawal dan Idul Fitri antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah hal yang sering menjadi perbincangan di masyarakat, khususnya pada saat menjelang akhir bulan Ramadhan. Masing-masing organisasi memiliki cara penentuan hilal yang berbeda, sehingga terkadang terjadi perbedaan tanggal dan hari raya antara keduanya.
Dalam menentukan awal Syawal dan Idul Fitri, Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau perhitungan astronomi. Hisab adalah metode perhitungan yang dilakukan berdasarkan posisi Matahari, Bumi, dan Bulan. Muhammadiyah menggunakan metode ini karena menganggap bahwa pengamatan langsung hilal sulit dilakukan, terutama di daerah perkotaan yang banyak tertutup gedung-gedung tinggi.
Sementara itu, NU menggunakan metode rukyah atau pengamatan langsung hilal untuk menentukan awal Syawal dan Idul Fitri. NU berpendapat bahwa pengamatan langsung hilal adalah cara yang lebih akurat dalam menentukan awal Syawal dan Idul Fitri karena berdasarkan pengamatan langsung dari mata manusia.
Kedua metode tersebut, hisab dan rukyah, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode hisab, meskipun lebih mudah dilakukan, tetapi masih mengandung kemungkinan kesalahan dalam perhitungannya. Sedangkan metode rukyah, meskipun lebih akurat, tetapi sangat tergantung pada kondisi cuaca dan pengamatan yang tepat.
Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan dan waktu ibadah sudah pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Pada masa itu, umat Muslim belum memiliki kalender bulan Hijriyah yang jelas, sehingga awal bulan Hijriyah dan waktu ibadah ditentukan berdasarkan pengamatan langsung hilal atau pendapat para ahli hisab.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Hijriyah dan waktu ibadah tersebut, seperti contohnya pada saat Nabi Muhammad dan para sahabat berbeda pendapat dalam menentukan waktu shalat Idul Fitri pada tahun ke-10 Hijriyah. Namun, dalam hal ini, Nabi Muhammad menyikapi perbedaan tersebut dengan bijaksana, dan memilih untuk menetapkan dua waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri, yakni pada hari ke-29 Ramadhan dan pada hari ke-30 Ramadhan, sehingga semua pihak dapat merayakan Idul Fitri dengan rasa syukur dan kebahagiaan.
Dari sini, kita dapat belajar bahwa perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Hijriyah dan waktu ibadah adalah hal yang wajar dan bisa terjadi dalam umat Islam. Namun, penting bagi kita untuk menghargai dan menghormati perbedaan tersebut, serta menyelesaikannya dengan cara yang bijaksana dan saling memahami satu sama lain.
Sebagai umat Muslim, kita seharusnya mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam menjalankan ajaran Islam. Kita tidak boleh memperkeruh suasana dengan saling menyalahkan atau menghakimi satu sama lain atas perbedaan pendapat yang terjadi. Sebaliknya, kita harus saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut, serta mencari cara yang terbaik untuk menyelesaikan perbedaan tersebut dengan musyawarah dan mufakat.