Mohon tunggu...
Syahreza Fahlevi
Syahreza Fahlevi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

tidak lelah untuk belajar dan memahami

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Miskin Dilarang Kuliah

19 April 2020   17:41 Diperbarui: 19 April 2020   17:44 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah wabah COVID-19 yang sedang melanda negeri kita tercinta, universitas negeri di Indonesia berlomba-lomba mengumumkan secara resmi pembukaan seleksi mandiri nya masing-masing. Memang ini menjadi angin segar bagi adik-adik yang sedang berjuang untuk masuk PTN yang didambakan. Namun, ada ironi dibalik pengumuman ini yaitu semakin tinggi uang pangkal yang ditetapkan.

Uang pangkal memang berbeda-beda namanya di masing-masing ptn. Ada yang berkedok sebagai dana pengembangan lembaga dan ada yang berkedok sebagai sumbangan pembangunan universitas. Permenristekdikti no. 39 tahun 2017 memang memperbolehkan universitas untuk memungut uang pangkal namun dengan pertimbangan memperhatikan kondisi ekonomi mahasiswa, orang tua, dan pihak lain yang membiayai. Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya adik-adik yang berjuang untuk masuk ke PTN tidak semuanya berasal dari kalangan keluarga mampu.

Di kampus saya uang pangkal di perhalus bahasa nya menjadi sumbangan pembangunan universitas. Ya, kampus negeri yang terletak di tengah kota Jakarta ini memperhalus uang pangkal dengan redaksi kata "sumbangan". Denotasi sumbangan sudah seharusnya bersifat sukarela, tetapi di beberapa prodi diwajibkan untuk memberikan sumbangan dengan menetapkan nominal angka. Angka yang ditetapkan bervariasi mulai dari 5 juta - 15 juta. Jika seperti itu, bukankah kata "pemaksaan" lebih tepat dibandingkan kata "sumbangan"?. Memang kewajiban memberikan sumbangan saat ini hanya berlaku di beberapa prodi, tapi tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan kewajiban memberikan sumbangan akan berlaku untuk semua prodi. Jika nantinya benar seperti itu, maka hanya orang berduit saja yang mampu menikmati pendidikan di perguruan tinggi negeri.

"Loh kan, kampus juga butuh untuk dana operasional, gaji karyawan. Kalau uang pangkal dihapus darimana kampus memperoleh dana untuk menuhin kebutuhan itu semua?". Uang UKT, dana BOPTN, profit dari unit usaha kampus, dana hibah dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dana universitas.

5-15 juta memang tidak seberapa bagi segelintir orang. Tetapi untuk kalangan tidak mampu bisa makan untuk hari ini aja mereka sudah bersyukur boro-boro mereka mampu menyediakan uang yang segitu banyaknya.

Pasal 55 ayat 1 UU no.20 tahun 2003 mengamanatkan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan adanya uang pangkal yang selangit ini berarti yang dapat menikmati Pendidikan bermutu hanyalah orang-orang yang memiliki uang. Artinya disini terjadi diskriminasi terhadap warga negara. Dan secara tidak langsung, pihak universitas mempersulit warga negara yang ingin memperoleh hak nya yaitu pendidikan yang bermutu.

Saya jadi teringat dengan pepatah lama yang berbunyi "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak". Artinya, teruntuk kalian para mahasiswa yang katanya "agent of change", kalian jangan hanya sibuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat tetapi kalian lupa bahwa ada masalah yang juga tidak kalah penting di sekitar kalian, terlebih jika masalah yang terjadi di kampus kalian sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun