Pada era ini, wabah pandemi masih menjadi topik hangat di seluruh dunia. Lebih spesifik lagi pandemi Covid-19 yang mewabah, terjadi pada akhir tahun 2019 yang bermula di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang dapat menyerang manusia dan hewan. Covid-19  menyebar secara cepat melalui intensitas mobilitas manusia secara global hampir ke seluruh dunia. Kemudian pada tanggal 30 Januari ditetapkan sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMMD) oleh WHO dengan gejala mirip SARS yang dapat menyebabkan hingga kematian (Safrizal,dkk 2020).
Pada saat artikel ini dibuat, kasus tertinggi penyebaran Covid-19 di seluruh dunia adalah Amerika, sedangkan Indonesia menjadi negara Asia dengan penyebaran tertinggi per 21 Desember 2021. Virus ini dapat menyebar melalui udara yang mampu menyebabkan infeksi saluran pernafasan hingga penyakit serius. Wabah membuat suatu kepanikan karena mampu menembus batas tubuh manusia dengan mudah dan menerobos pertahanan dengan satu tujuan yaitu untuk menyerang, bahkan ketika sedang benar-benar diamati dengan cermat (Meera Senthilingam, 2021).
Kehadiran Covid-19 mengejutkan masyarakat umum dan dunia medis serta pemerintah dalam menghadapinya. Sebagian masyarakat juga panik ketika Covid-19 telah menyebar hingga ke negara mereka. Lalu mengapa kepanikan ini terjadi pada awal terjadinya pandemi Covid-19? Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan ini
Covid -19 dalam perspektif Hiper-realitas Jean Baudrillard
      Terjadinya pandemi Covid-19 pada masa ini berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi yang kian maju. Adanya kabar kemunculan Covid-19 di China sudah sampai ke telinga seluruh orang di dunia karena cepatnya media informasi dan komunikasi pada saat ini, seakan tidak ada batasan antara negara satu dengan negara lainnya. Kita bahkan dapat mengetahui apa yang terjadi di bagian negara lain tanpa berada di negara tersebut.
      Kemajuan teknologi ini membuat suatu dunia baru yang disebut Baudrillard sebagai simulasi. Simulasi membuat suatu hal yang tidak nyata terlihat nyata, memunculkan sifat konsumerisme dari para pengguna media sosial. Bahkan secara perlahan realitas dikalahkan oleh realitas buatan manusia di dunia maya., menjadikan model tanpa referensi sebagai acuan realitas sebenarnya. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Ruang realitas semu ini merupakan ruang antithesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi itu sendiri.
      Teknologi yang berkembang pesat memudahkan masyarakat mendapatkan informasi melalui media sosial dari gawai mereka. Sayangnya, hal ini menumbuhkan sifat konsumerisme dari para pengguna media sosial. Mereka cenderung mudah menerima informasi yang belum jelas kebenarannya dan percaya begitu saja terhadap dunia dalam simulasi. Hal ini yang terjadi ketika endemi corona berubah menjadi pandemi yang dinyatakan telah memapar disebagian negara, memunculkan kepanikkan di masyarakat.
      Dalam pandangan Baudrillard kepanikkan ini disebabkan oleh hiper-realitas yang dibangun dalam simulasi. Budaya konsumerisme yang terbangun membuat masyarakat begitu saja menelan mentah-mentah informasi yang tersebar menganggap semua hal yang diproduksi media sosial adalah nyata. Pada awal dinyatakannya kota Wuhan terpapar virus yang belum diketahui, banyak beredar video orang yang terjatuh dan meninggal secara tiba-tiba. Hal ini dimanfaatkan beberapa oknum tidak bertanggung jawab dengan mengatakan bahwa kematian mendadak tersebut disebabkan oleh virus corona. Dari sinilah perspektif di masyarakat mengenai virus tersebut terbangun sebagai virus yang sangat berbahaya dan memicu kepanikkan di masyarakat itu sendiri. Ditambah adanya kebijakan lockdown yang disampaikan pemerintah membuat masyarakat merebut membeli kebutuhan seolah hal tersebut akan langka kian  hari.
      Padahal pada realitas sebenarnya manusia yang terpapar Covid-19 terlebih dahulu menunjukkan gejala-gejala layaknya demam, batuk, pilek, radang tenggorokan dan sebagainya dengan masa inkubasi kurang lebih selama 14 hari atau 2 minggu. Bahkan dalam beberapa kasus, orang yang terkena Covid-19 tidak menunjukkan gejala apa-apa. Adapun kebijakan untuk karantina atau lockdown bertujuan untuk mendeteksi apabila ada warga masyarakat yang terjangkit, sehingga penyebaran tidak secara cepat meluas dari interaksi sosial masyarakat secara langsung.
      Hiper-realitas juga terjadi ketika dipublikasikannya laporan kematian pasien yang disebabkan oleh Covid-19 yang disampaikan melalui berbagai media. Padahal kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien pada usia rentan dan memiliki riwayat sakit kronis.  Kemudian pada bulan-bulan setelahnya terdapat pasien yang dinyatakan sembuh dari Covid-19. Ini menunjukkan bahwa Covid-19 tidak semengerikan yang ditunjukkan dalam media sosial hingga dapat menyebabkan kematian mendadak. Penyebaran pun dapat dicegah dengan menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan dengan menghindari kerumunan.
      Setelahnya, setiap negara yang terpapar Covid-19 melakukan berbagai upaya pencegahan, baik dengan dilakukannya lockdown, pemberlakuan work from home, hingga berlomba-lomba membuat vaksin. Uji coba vaksin dilakukan berbagai lembaga hingga akhirnya ditemukannya vaksin Covid-19 pertama. Namun hadirnya vaksin ini ternyata menimbulkan keresahan lagi di masyarakat, karena beberapa orang yang baru saja di vaksin beberapa hari setelahnya dinyatakan meninggal dunia akibat Covid-19. Lagi-lagi hiper-realitas terjadi di masyarakat yang memunculkan kekhawatiran terhadap vaksin tanpa mencari kebenaran yang nyata. Setelah ditelaah lebih dalam, ternyata orang-orang yang dinyatakan meninggal dunia adalah orang yang menderita komorbid. Penyakit bawaan yang dapat memperparah penyakit baru yang diderita. Maka dihimbau kepada seluruh masyarakat yang memiliki komorbid untuk tidak divaksin dan meminta surat keterangan ke dokter dengan alasan tersebut.