Mohon tunggu...
syahnasa mann
syahnasa mann Mohon Tunggu... -

learning bout everything..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membangun Indonesia yang Beretika

11 Maret 2010   15:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi kompasianer, tulisan ini hanyalah gubahan dari artikel sebelumnya Indonesia Beretika

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keramahtamahannya. Etika, moral dan kesopansantunan merupakan tiga hal yang dijunjung tinggi dalam khasanah kehidupan bernegara. Kepribadian negeri gemah ripah loh jinawi ini tercermin dalam Pancasila, terutama sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Segala tingkah laku, tindak-tanduk, tata bersikap sebagai warga negara hendaknya berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung keberadaban. Namun, tata etika keindonesiaan kini tampak luntur dari nilai keidealisan.

Etika menjadi kitab yang invicible, tampak abstrak sebagai penuntun masyarakat dalam berpolah laku. Sayangnya, di zaman demokrasi, saat yang terbungkam mulai bicara nilai-nilai etis mulai ditanggalkan. Tercium bau arogansi merambah di kalangan rakyat kecil maupun para aktor di Senayan. Democrazy (baca:demokrasi kebablasan) telah menyelingkuhi esensi dari kebebasan yang bertanggung jawab. Kita diizinkan untuk tak seragam dengan batas tak merugikan orang lain dan orang lain tidak mencederai kita.

Pesta rakyat pun meriah dengan segala atribut permainan di belakang layarnya, menuai keraguan apakah benar hati nurani rakyat yang disuarakan atau hanya sekadar penyumpal kepentingan segelintir orang saja. Aksi demo tak jarang meninggalkan etika dan sering berujung pada keanarkian. Misalnya, perusakan barang publik, bentrok dengan aparat, bahkan terkadang menimbulkan korban jiwa. Perbincangan ini kian gencar akhir-akhir ini, seperti aksi unjuk rasa dengan kerbau sebagai ikonnya menjadi ledekan yang memanaskan kuping seorang Presiden.

Tak beda dengan tindak ‘tak beretika’ sebagian rakyat, para wakil rakyat pun demikian. Silang sengkarut kasus talangan Bank Century sebagai titik tolak perhatian rakyat terhadap tindak tanduk petinggi negara. Persidangan demi persidangan dengan menghadirkan beberapa tokoh penting kenegaraan ini menjadi soroton seluruh rakyat di pelosok negeri.

Tak pelak dilihat publik, pemain-pemain Pansus Century dengan volume keras dan temperamen tinggi berbicara lantang, dan dirasa kurang mengindahkan etika. Pengusutan berjalan dengan tidak memberikan ruang kepada saksi untuk menjelaskan secara gamblang. Bahkan, tak jarang menjatuhkan vonis dalam sidang bahwa saksi melanggar Undang-undang dan dianggap sebagai tindak pidana.

Pandangan tak mengenakkan akan moral para wakil rakyat semakin disoroti media massa. Sidang paripurna DPR yang diadakan tanggal 2 Maret lalu, berakhir ricuh dengan banjir interupsi yang sulit dibendung. Sejumlah anggota DPR berteriak-teriak dan sebagian lagi bergerak maju menuju meja pimpinan DPR. Ironisnya, seorang ketua DPR, Marzoeki Ali berceletuk seolah tidak disegani, "Tolong pimpinan juga diberi kesempatan bicara". Kekisruhan suasana sidang paripurna disiarkan di dalam negeri maupun di luar negeri. Ketidakpercayaan rakyat terhadap wakil rakyat menjadi suatu keniscayaan dan mulai dipertanyakan. Kualifikasi sebagai wakil-wakil rakyat pun dianggap tidak menjanjikan.

Almarhum Gus Dur menilai DPR tak lebih dari Taman Kanak-Kanak. Singgungan ini menyeruak kembali di berbagai salon berita, menjadikan semakin terpuruknya kewibawaan seorang wakil rakyat. Para anggota DPR dinilai hanya mementingkan kepentingan partainya, tidak menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Perjuangan partai hanya sekadar dari perjuangan kepentingan untuk meraih kekuasaan tanpa mendengar hati nurani rakyat. Selain itu, para politisi sudah banyak yang menganut paham Machievillian, yaitu menghalalkan berbagai cara untuk meraih tujuan meskipun dengan kekerasan dan mengesampingkan etika.

Standar mengenai kesopanan dan kesantunan hidup dalam kandang negara memang tidak dapat digeneralisasi dan belum diterapkan sebagai hukum tertulis. Sebagai contohnya, orang dari suku Batak, berbicara dengan suara keras merupakan penggambaran dari keakraban, sangat jauh berbeda dengan suku Jawa, keakraban dan kesopanan dilambangkan dengan intonasi lunak dan pelan. Namun, berdasarkan nilai-nilai etika yang dianut orang kebanyakan, esensi dari kesopansantunan telah bertuah pada kesamaan persepsi.

Secara khusus, penanganan terhadap moralitas anggota DPR merupakan tanggung jawab dari Dewan Kehormatan sebagai badan yang berperan dalam melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR. Namun, persoalan etika ini telah menyangkut hajat orang banyak dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan hanya sandungan intern dalam tubuh lembaga, tetapi telah menjadi permasalahan bangsa yang miskin etika.

Demokrasi Indonesia memang sedang berkembang secara prosedur, tetapi substansinya telah dikotori oleh etika atau tata cara yang buruk. Menilik pada zaman kolonial, awal abad lalu, kemelaratan rakyat dan penindasan melahirkan sebuah gagasan etis. Akan tetapi, kini kebangkitan etis itu sendiri sangatlah sulit untuk diwujudkan. Satu satunya jalan adalah dengan program national character building yang harus lebih digencarkan. Aspek pendidikan berperan dalam pengembangan karakter, moral dan etika baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pembenahan hendaknya dilaksanakan secara komprehensif terhadap seluruh lapisan masyarakat dimulai dari level bawah hingga level atas. Kokohnya karakter nasional tidak menjadikan bangsa Indonesia terjebak dalam konflik dan hambatan untuk dapat membangun negeri di kemudian hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun