Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020, yang menggantikan UU Nomor 4 Tahun 2009, membawa sejumlah perubahan yang kontroversial dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara di Indonesia. Salah satu poin yang paling memicu diskusi adalah rekomendasi dari DPR yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk terlibat langsung dalam pengelolaan tambang. Usulan ini berangkat dari argumen bahwa perguruan tinggi, dengan kapasitas intelektual dan teknologinya, dapat menjadi ujung tombak inovasi sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di sektor pertambangan. Namun, langkah ini tidak lepas dari kritik tajam karena menyisakan banyak pertanyaan mengenai kelayakan, relevansi, dan dampaknya terhadap perguruan tinggi maupun masyarakat.
Secara normatif, revisi UU Minerba memberikan kewenangan besar kepada pemerintah pusat dalam menetapkan wilayah usaha pertambangan dan memperkenalkan kemungkinan kerjasama dengan institusi non-komersial, termasuk perguruan tinggi. Namun, langkah ini seolah bertentangan dengan tren global yang semakin menekankan pada transisi energi bersih dan pengurangan ketergantungan pada industri ekstraktif. Data dari Climate Action Tracker (2022) menunjukkan bahwa emisi karbon dari sektor pertambangan menyumbang sekitar 4% dari total emisi global, dengan batu bara sebagai salah satu kontributor utama. Dalam konteks ini, mendorong perguruan tinggi untuk mengelola tambang justru dapat dianggap bertolak belakang dengan semangat keberlanjutan yang banyak digaungkan di forum internasional, termasuk oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Dari sisi teknis, meskipun perguruan tinggi memiliki keunggulan dalam penelitian dan pengembangan teknologi, pengelolaan tambang tidak hanya melibatkan aspek ilmiah, tetapi juga operasional, keuangan, hukum, dan etika lingkungan yang sangat kompleks. Apakah perguruan tinggi, yang pada dasarnya merupakan institusi pendidikan, memiliki kapasitas untuk mengelola risiko besar yang melekat pada industri tambang? Lebih jauh, apakah langkah ini tidak berpotensi menciptakan konflik kepentingan antara fungsi akademik perguruan tinggi dengan tuntutan profitabilitas dari pengelolaan tambang?
Kritik lainnya juga berfokus pada dampak sosial dan lingkungan yang sering kali diabaikan dalam wacana ini. Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun 2022, lebih dari 70% konflik lahan di Indonesia berkaitan dengan aktivitas pertambangan. Keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dikhawatirkan justru akan menempatkan mereka dalam posisi sulit ketika berhadapan dengan masyarakat lokal. Perguruan tinggi, yang selama ini dipandang sebagai institusi independen dan ilmiah, dapat kehilangan kepercayaan publik jika terlibat dalam aktivitas yang merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Selain itu, wacana ini juga mencerminkan persoalan struktural yang lebih dalam terkait pengelolaan tambang di Indonesia. Apakah rekomendasi ini sesungguhnya sebuah solusi, atau justru bentuk pelimpahan tanggung jawab oleh pemerintah dan korporasi tambang kepada perguruan tinggi? Dalam beberapa kasus, pemerintah dinilai gagal mengawasi dan menegakkan aturan terhadap perusahaan tambang yang melanggar regulasi, termasuk masalah reklamasi pasca-tambang. Jika perguruan tinggi dilibatkan tanpa regulasi dan tata kelola yang jelas, mereka justru berisiko menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, artikel ini akan mengulas secara kritis polemik pelibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang. Di satu sisi, peluang dan manfaat yang ditawarkan tampak menjanjikan, tetapi di sisi lain, risiko yang ditimbulkan tidak bisa diabaikan. Apakah langkah ini merupakan strategi visioner untuk mendorong sinergi antara pendidikan dan industri, atau sekadar jalan pintas yang mengabaikan implikasi jangka panjang terhadap fungsi perguruan tinggi dan keberlanjutan lingkungan?
1. Perguruan Tinggi dan Perannya
Perguruan tinggi memegang mandat utama melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Dalam fungsi tersebut, perguruan tinggi seharusnya menjadi pendorong perubahan berbasis ilmu pengetahuan yang berdampak langsung pada masyarakat, bukan aktor bisnis.
Namun, mengelola tambang masuk dalam ranah bisnis yang bersifat profit-driven, yang berbeda dari misi perguruan tinggi yang seharusnya education-driven. Mengelola tambang membutuhkan keahlian di luar kapasitas akademik, seperti manajemen risiko ekonomi, kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, serta kemampuan menghadapi konflik sosial yang kerap terjadi dalam aktivitas tambang. Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2022, lebih dari 50% wilayah tambang di Indonesia berbenturan dengan lahan masyarakat adat, yang sering menjadi sumber konflik sosial. Perguruan tinggi, jika masuk ke sektor ini, harus menghadapi tantangan tersebut, yang berpotensi mengalihkan fokus mereka dari fungsi pendidikan dan penelitian.
Di sisi lain, sektor pertambangan juga berisiko besar dari segi lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada 2023, 65% dari tambang yang beroperasi di Indonesia tidak melakukan reklamasi pascatambang dengan benar, mengakibatkan pencemaran lingkungan yang masif. Perguruan tinggi, jika terlibat, akan turut memikul tanggung jawab besar dalam menangani risiko ini.
2. Potensi Manfaat: Peluang untuk Inovasi dan Pendanaan