2. Perguruan Tinggi di Daerah Menghadapi Keterbatasan Sumber Daya
Perguruan tinggi di daerah sering kali mengalami kesulitan untuk memenuhi standar akreditasi tinggi karena keterbatasan sumber daya. Hal ini mencakup:
- Keterbatasan Tenaga Pengajar Berkualitas: Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2021) menunjukkan bahwa perguruan tinggi di wilayah luar Jawa memiliki proporsi dosen bergelar doktor yang jauh lebih rendah (hanya sekitar 12%) dibandingkan dengan perguruan tinggi di Jawa (rata-rata 34%).
- Fasilitas Pendidikan yang Tidak Memadai: Banyak perguruan tinggi daerah tidak memiliki fasilitas pendukung seperti laboratorium, perpustakaan yang lengkap, atau infrastruktur digital. Misalnya, Universitas X di Kalimantan, dalam laporan evaluasi 2020, menyebutkan bahwa kurangnya akses ke laboratorium memengaruhi kualitas pembelajaran dan penelitian mahasiswa.
- Dukungan Pendanaan Terbatas: Perguruan tinggi swasta kecil di daerah sering kali tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan standar akreditasi. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan kesulitan membayar biaya yang dibutuhkan untuk proses akreditasi.
Solusi
1. Reformasi Proses Akreditasi
Salah satu pendekatan yang dapat diambil untuk mengatasi tantangan tersebut adalah menerapkan evaluasi berbasis outcome. Sistem ini tidak hanya menilai aspek administratif, tetapi juga melihat dampak nyata pendidikan terhadap mahasiswa, masyarakat, dan dunia kerja.
- Fokus pada Hasil Belajar Mahasiswa (Outcome-Based Education): Sistem akreditasi berbasis outcome dapat mengevaluasi apakah lulusan memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat. Studi dari OECD (2020) menunjukkan bahwa pendekatan berbasis outcome di negara-negara maju seperti Finlandia dan Jerman berhasil meningkatkan daya saing lulusan di pasar global.
- Indikator Dampak Pendidikan: Perguruan tinggi dinilai berdasarkan dampak penelitian, kualitas pengabdian masyarakat, dan kinerja lulusan di dunia kerja, seperti tingkat penyerapan lulusan dalam waktu tertentu. Pendekatan ini dapat membantu perguruan tinggi daerah untuk menonjolkan keunggulan lokal meskipun sumber daya mereka terbatas.
2. Penguatan Budaya Mutu
Akreditasi tidak hanya dipandang sebagai hasil akhir, tetapi perlu diintegrasikan dalam budaya mutu yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
- Peningkatan Kapasitas Dosen dan Staf: Pemerintah perlu menyediakan lebih banyak pelatihan dan beasiswa bagi dosen di perguruan tinggi daerah untuk meningkatkan kompetensi mereka. Misalnya, program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) yang ditingkatkan cakupannya untuk mendukung dosen dari wilayah tertinggal.
- Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI): Perguruan tinggi harus membangun sistem internal yang secara rutin mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran, penelitian, dan layanan kepada mahasiswa. Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan contoh institusi yang berhasil membangun SPMI sehingga dapat menjaga mutu akademiknya secara konsisten.
3. Sosialisasi dan Transparansi
Pemahaman tentang pentingnya esensi akreditasi perlu ditingkatkan melalui sosialisasi yang menyeluruh, terutama kepada perguruan tinggi di daerah.
- Edukasi tentang Esensi Akreditasi: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dapat mengadakan seminar dan lokakarya yang menjelaskan bahwa akreditasi adalah proses refleksi mutu, bukan sekadar alat promosi. Lokakarya dapat melibatkan perguruan tinggi unggul untuk berbagi praktik terbaik.
- Publikasi Hasil Akreditasi dengan Analisis Mendalam: BAN-PT dan LAM perlu mempublikasikan hasil akreditasi secara transparan, disertai analisis aspek yang dinilai. Publikasi ini akan memberikan pemahaman kepada masyarakat dan calon mahasiswa tentang kualitas perguruan tinggi secara menyeluruh, sehingga mereka tidak hanya terfokus pada status akreditasi.
Tantangan dalam sistem akreditasi, seperti kurangnya pemahaman tentang esensi akreditasi dan keterbatasan sumber daya di daerah, memerlukan solusi yang komprehensif. Reformasi proses akreditasi berbasis outcome, penguatan budaya mutu di perguruan tinggi, serta sosialisasi dan transparansi dapat menjadi langkah efektif untuk memastikan bahwa akreditasi tidak hanya menjadi simbol prestise, tetapi juga alat peningkatan kualitas pendidikan yang berkelanjutan. Dengan komitmen bersama dari pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat, sistem akreditasi di Indonesia dapat berkembang menjadi instrumen yang lebih bermakna dalam mendorong mutu pendidikan tinggi.
Kesimpulan