Ternyata, bukan orang Cina saja yang sanggup membuat produksi massal terhadap barang-barang bermerek seakan-akan seperti asli, padahal kondisinya palsu. Orang-orang lokal pun ternyata telah banyak yang berbisnis model “asli tapi palsu” (aspal) melalui upaya akal-akalan terhadap produk-produk bermerek yang telah ada tetapi dipalsukan. Kita memang harus mengakui, gempuran produk-produk Cina di pasaran, lambat-laun telah berhasil menggeser produk-produk lokal, karena memang dari sisi ongkos produksi, barang lokal terlihat jauh lebih mahal dibanding produk Cina. Meskipun demikian, orang-orang lokal, baik pedagang atau penggunanya tampak lebih menyukai produk-produk Cina yang relatif lebih murah meskipun kualitasnya buruk dibanding produk-produk lokal yang ada meskipun kualitasnya baik. Prinsip hidup orang Indonesia, jika dirata-ratakan menganut asumsi “yang penting murah”. Mindset ini kemudian membangun sebuah anggapan bahwa barang-barang murah akan lebih digemari dibanding barang-barang lainnya yang lebih mahal meskipun jelas perbedaan kualitasnya. Jika orang Indonesia ditanya, lebih memilih mana antara bagus dan murah, maka orang Indonesia cenderung akan memilih yang murah.
Mindset “yang penting murah” ini nampaknya sanggup diterjemahkan oleh para pebisnis sebagai peluang besarnya keuntungan yang dapat diraih jika mengurangi kualitas suatu barang atau dibuat saja barang itu seakan-akan asli, padahal palsu alias aspal. Entah apa yang ada dalam pikiran para pebisnis abal-abal ini, mereka sudah tidak lagi berpikir tentang masa depan para penggunanya walaupun mengandung resiko kerusakan organ tubuh manusia secara permanen atau kematian, para pebisnis abal-abal ini malah semakin menggila membuat produk-produk aspal sesuai tingkat kebutuhan manusianya. Publik pasti tahu bahwa produk-produk aspal sudah beredar di pasaran Indonesia, tidak hanya obat, kosmetika atau makanan yang jelas-jelas sangat berbahaya bagi manusia, tetapi juga banyak produk aspal yang selain itu, yang mencatut merek-merek terkenal juga beredar di kalangan luas. Jadi, kasus aspal seharusnya bukanlah barang baru, tetapi karena berdampak luas dan terekspos ke publik, maka kasus ini menjadi fokus pembicaraan.
Terbongkarnya kasus vaksin palsu yang beredar di tengah masyarakat, seharusnya semakin menambah panjang daftar kepalsuan barang-barang yang tersebar di pasaran negeri ini. Untuk vaksin palsu saja, bahkan sudah belasan tahun beroperasi di Indonesia, tetapi justru baru mulai terungkap belakangan ke publik. Jelas, ini semakin membuat kita miris terhadap kondisi lemahnya pengawasan para pemangku kepentingan di negeri ini. Kondisi ini justru memperlihatkan tidak adanya koordinasi secara menyeluruh antar berbagai pihak terkait terhadap peredaran produk-produk apapun di masyarakat. Indonesia, selalu saja menjadi peluang menggiurkan untuk bisnis barang-barang aspal karena prilaku konsumtif masyarakatnya yang berlebihan.
Yang palsu ternyata bukan hanya soal vaksin, pernah juga misalnya ditemukan buku-buku pelajaran sekolah “palsu” yang sengaja disisipi unsur pornografi atau mengunggah kekerasan kemanusiaan dalam tulisannya, atau munculnya produk-produk aspal, seperti jamu, obat-obatan dan kosmetik. Belum lagi terbongkarnya kasus peredaran uang palsu, bahkan hingga persoalan perda “palsu” yang ditertibkan pemerintah semakin menunjukkan lemahnya pengawasan para pemangku kepentingan dalam banyak hal. Yang menyedihkan, bahwa terungkapnya vaksin palsu justru setelah sekian puluh tahun beredar di masyarakat dan telah dipakai mungkin kepada jutaan bayi yang ada di seluruh Indonesia. Penyebarannya yang bersifat sporadis, semakin menyulitkan identifikasi pihak terkait bayi mana saja yang terbukti justru divaksinasi menggunakan vaksin palsu.
Kekhawatiran akan vaksin palsu, semakin menambah keengganan masyarakat menjalankan imunisasi bertahap bagi anak-anak mereka. Bahkan, kedepan bisa jadi vaksinasi diyakini tidak berpengaruh terhadap kondisi baik-buruknya kondisi kekebalan tubuh seseorang akibat pengaruh vaksin. Hal ini misalnya, pernah dibuktikan oleh Dr. William Hay, dalam sebuah bukunya, The Immunisation: The Reality Behind the Myth menyatakan bahwa, “Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya.”
Racun yang dimaksud adalah imunisasi atau vaksin yang disuntikkan kepada bayi, sehingga dengan demikian, bayi dianggap akan memiliki seperangkat pertahanan tubuh yang dihasilkan dari luar dirinya melalui vaksinasi. Padahal dalam kondisi normal, manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan sel yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia secara otomatis diberi kekuatan yang terbentuk dalam tubuhnya untuk mengobati dirinya sendiri atau memperbaiki jaringan-jaringan selnya yang rusak dengan sel-sel yang baru. Lalu, apakah bayi yang divaksinasi akan lebih sehat dan kuat terhadap serangan penyakit? Dibanding bayi yang tidak mengalami vaksinasi sekalipun? Sejauh ini, vaksinasi belum menjadi jaminan bahwa bayi akan tahan terhadap segala kondisi penyakit yang berasal dari luar dirinya. Yang ada, justru hanya bersifat pencegahan terhadap penyakit-penyakit tertentu hasil dari vaksin yang disuntikkan kedalam tubuhnya.
Pengalaman saya adalah berasal dari teman dekat yang keempat anaknya tidak pernah divaksin sejak mereka lahir. Kondisi keempat anaknya sampai saat ini masih tetap sehat dan bahkan tidak juga rentan terhadap penyakit, biasa-biasa saja. Justru saya malah berpikir, jika vaksin yang beredar banyak yang dipalsukan, bisa jadi bahwa obat-obatan yang beredar di masyarakat belum tentu juga seluruhnya asli, mungkin banyak juga yang aspal. Melihat kondisi saat ini, pemalsuan obat dan kosmetik mungkin sudah ada lebih dulu, meskipun pemalsuan produk-produk lainnya juga saya kira tidak bisa disangsikan. Produk-produk aspal sejatinya membanjiri Indonesia sudah sejak lama, namun mulai diungkap ke publik justru ketika timbul korban di masyarakat dan ada desakan kuat dari mereka. Lemahnya pengawasan dalam banyak sektor di masyarakat, semakin mempermudah gerak para sindikat kejahatan membuat produk abal-abal dengan menuai banyak keuntungan, meskipun harus mengorbankan banyak pihak, khususnya masyarakat sebagai konsumen. Saya kira, pemalsuan vaksin tidak hanya sebatas urusan murni bisnis, tapi memang sudah ada praktek kongkalikong yang telah terbangun antara pemangku kepentingan dan pebisnis abal-abal sehingga produk seperti ini hampir bisa lolos dari pengawasan dan beredar di pasaran.
Dari beberapa data yang diungkap media, vaksin palsu memang baru terendus sejauh ini oleh aparat terkait di tujuh daerah, yaitu Bekasi, Jakarta Timur, Tangerang Selatan, Subang, Semarang, Pekanbaru dan Medan. Bisa jadi, beberapa daerah ini kurang melakukan kontrol atau memang sudah terjadi aksi kongkalikong pihak-pihak tertentu demi meraih keuntungan sepihak. Disinilah sebenarnya yang sangat mengkhawatirkan, jika benar-benar telah terjadi kongkalikong diantara mereka. Praktek-praktek kerjasama yang di-beckingi aparat tertentu justru akan semakin mempersulit pengungkapan sebuah kasus, dibandung murni dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu. Keberadaan vaksin palsu yang telah teridentifikasi jangan sampai kemudian membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah justru menurun, tetapi buatlah masyarakat semakin percaya terhadap keseriusan upaya pemerintah dalam hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H